Salah satu penyebab tak kunjung tibanya pengenalan akan tujuan, dikarenakan begitu memasyarakatnya beberapa doktrin-doktrin yang keliru yang selama ini di yakini benar oleh masyarakat.
Sekiranya tidak dikarenakan keterpaksaan yang mendesak dan juga telah membuat sesak dada saya, nyaris-nyaris kami tidak ingin membahas sama sekali kekeliruan besar yang terjadi selama ini dalam dunia Islam.
Pembahasan hanya mendiskusikan doktrin-doktrin yang berhubungan dengan tema buku ini yaitu logika dan filsafat. Kita memulai dengan apa yang di fatwakan tokoh besar Islam Ibnu Taimiyah. “man tamantaqah faqad fasandaq” yang arti harfiahnya kurang lebih seperti ini; “Barangsiapa yang berlogika maka ia kafir” (Lihat, Buku Tajaliyat Ilahi, hal-1 Dimitri Mahayana). Apakah betul fatwa ini ? ataukah mutlak salah ?, apa implikasinya jika fatwa ini kita benarkan ?. Dan apa pula konsekwensinya jika ia mutlak salah ?.
Kami akan memberikan tiga argumentasi demi membuktikan kekeliruan fatwa ini
Pertama, salah satu prinsip logika adalah prinsip “kausalitas”. Prinsip kausalitas berbunyi, “segala sesuatu yang ada pastilah ada yang mengadakan, kecuali keberadaan.” Prinsip ini menurunkan prinsip sekunder yakni, “setiap sebab pastilah melahirkan akibat, dan setiap akibat pastilah lahir dari sebab.” Dari perkataan Ibnu Taimiyah, “Barang siapa yang berlogika maka ia kafir“, ada dua hal yang kita tarik dari makna perkataan di atas :
a) Berlogika mengakibatkan kita kafir, pada perkataan ini logika sebagai sebab kafirnya seseorang.
b) Kafir akibat dari logika, pada perkataan ini kafirnya seseorang akibat dari berlogikanya orang tersebut.
Perkataan tersebut menggunakan hukum sebab-akibat atau kausalitas. Dengan demikian, ketika Ibnu Taimiyah mengkafirkan logika sesungguhnya ia pun menggunakan prinsip logika yaitu “Prinsip Kausalitas”. Artinya yang berlogika adalah Ibnu Taimiyah sendiri. Dan apabila pernyataan ini benar maka benarlah kekafiran orang yang berlogika termasuk Ibnu Taimiyah. Jadi yang kafir sesungguhnya Ibnu Taimiyah sendiri berdasarkan pernyataannya sendiri.
Kedua, Dalam filsafat, manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir. “Manusia = Hewan + Berfikir”. Artinya manusia dapat dikatakan manusia jika dia berfikir atau syarat mesti kemanusiaan adalah berfikir. Jadi jika x manusia pastilah x berfikir. Dan jika x tidak berfikir pasti x bukan manusia. Selanjutnya jika x berfikir pastilah x menggunakan prinsip berfikir (logika). Sehingga jika x manusia pastilah x mengunakan prinsip berfikir (logika). Jadi kesimpulannya, menggunakan logika adalah syarat mesti kemanusiaan.
Sekiranya kita menerima fatwa beliau tentang pelarangan logika, berarti kita dan beliau telah menghilangkan syarat berfikir dan syarat kemanusiaan.
Ketiga, logika adalah pinsip-prinsip berfikir. Subjeknya adalah manusia dalam hal ini akal rasional dan objeknya adalah realitas. Entah itu realitas di alam nyata atau realitas alam pikiran dan alam bahasa. Prinsip-prinsip berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan akan prinsip logika itu mustahil. Bahkan mustahil pula pada semua khayalan yang mungkin (all possible intelligibles).
Contohnya prinsip nonkontradiksi, “sesuatu itu hanya sama dengan dirinya dan tidak sama dengan bukan dirinya”. Prinsip ini telah tertanam secara niscaya sejak kita lahir dan selalu hadir kapan saja pikiran digunakan dan harus diterima kapan saja dalam memahami realitas apapun. Bahkan lebih jauh lagi prinsip ini sesungguhnya merupakan suatu watak pasti bagi seluruh yang ada (the very property being). Menolak prinsip ini akan menghancurkan seluruh kebenaran pada semua alam. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bangunan agama, filsafat, sains, teknologi dan seluruh pengetahuan manusia.
Sebagai contoh perkataan Ibnu Taimiyah, sekiranya pernyataan itu benar, maka menggunakan logika salah. Karena menggunakan logika salah maka prinsip nonkontradiksi pun salah. Selanjutnya, jika prinsip nonkontradiksi salah maka seluruh kebenaran tidak akan bermakna. Karena salah dan benarnya sesuatu akan identik, sehingga tidak bisa dinilai benar dan salahnya sesuatu. Dan jika seluruh kebenaran tidak bermakna, maka pernyataan Ibnu Taimiyah sendiri juga tak bermakna. Olehnya itu tidak usah dipikirkan!
Berdasarkan dari ketiga argumentasi yang dibahas, maka sebaiknya pernyataan bagi pengkafiran orang yang berlogika itu kita tolak. Pernyataan ini salah, salah dan mustahil benar. Karena jika benar maka semua yang berfikir benar akan kafir, dan ini mustahil!
Doktrin berikutnya yang akan dibahas, yaitu perkataan Imam Al Gazali dalam buku Al-Munqid karangan beliau.(Lihat Al-Huda, Vol 3 hal-64). Dan pelarangan filsafat dalam bukunya Tahafatul Falasyfah (sesatnya filsafat)
Dalam Al-Munqidnya beliau berkata “Pikiran tidak berkompoten untuk menjawab persoalan-persoalan metafisika yang dimunculkan oleh pikiran itu sendiri” Seperti biasanya kami kembali memberikan beberapa argumentasi guna membuktikan kekeliruan Al Gazali.
1. Agar mudah, kita tinggal menanyakan apakah Al Gazali “berfikir”, ketika beliau mengatakan bahwa pikiran tidak berkompoten untuk menjawab persoalan-persoalan metafisika yang dimunculkan oleh pikiran itu sendiri? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, “Al Gazali berfikir”. Jika Al Gazali berfikir berarti kitapun tidak bisa menjawabnya. Karena bukankah beliau sendiri yang mengatakan pikiran tidak berkompoten untuk menjawab persoalan-persoalan metafisika yang dimunculkan oleh pikiran itu sendiri. Jadi implikasi dari pernyataannya akan berbalik pada dirinya sendiri yaitu Al Gazali dalam hal ini meragukan sendiri pikirannya termasuk kebenaran perkataan beliau ketika mengatakan pikiran tidak berkompoten untuk menjawab persoalan-persoalan metafisika yang di munculkan oleh pikiran sendiri.
Kemungkinan kedua, “Al Gazali tidak berfikir” Jika Al Gazali tidak berfikir, kemungkinan ini lebih logis karena hanya orang yang tidak berfikirlah yang meragukan pikiran. Implikasi dari jawaban ini adalah tidak mungkin lagi membenarkan pernyataan beliau dan sebaliknya kita harus menyalahkannya, karena mana mungkin kita menerima sesuatu yang tidak berdasarkan pikiran. Jadi kesimpulannya, kita tinggal memilih kemungkinan pertamakah yang berarti meragukan perkataan beliau atau kemungkinan kedua yang menyalahkan perkataan beliau. Dan tidak ada kemungkinan ketiga yang membenarkan perkataan beliau. Karena semakin kita membenarkannya semakin itu pula kita meragukan dan menyalahkan beliau.
2. Dari pernyataannya, beliau secara tidak langsung meragukan dan membatasi pikiran. Hal ini sangat bertentangan dengan dalil aqli sebagaimana yang kita telah bahas di atas dan dalil naqli. Beberapa bukti dari ayat dalam Al Qur’an dan hadist tentang betapa pentingnya pikiran, yaitu :
“Inna fi halqi samawati wal ardi wa uhtilafiil laylii wannahari laa ayatiln li ulill al-bab, allaziina yaskuruwnallaha qiyamman waqu udan wa ala junubihi wayatafakkaruna fi halqi samawati wall ardi”. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang “berakal”, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka “memikirkan” penciptaan langit dan bumi (QS. 3:190-191)
“Wa qaluw laow kunna nasmau aw naqqiluu maa kunna fii ashabisa’iyri “ berkata penghuni neraka, sekiranya kami mendengar atau “memikirkan” peringatan itu, niscaya kami tidaklah termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. ( QS. 67: 10)
“Alsyinaa yastamiunal qawla fayattabiuna- ah’zanuu ulaa ikallazina hadahumullahu wa ulaaikahum ulul al bab”. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai “akal.” (QS 39: 18)
“Wayaj alu rihsya alallasyinaa layaqqilun“. Dan Allah sangat membenci kepada orang-orang yang tidak menggunakan “akalnya”. ( QS. 10: 100).
“Afala tafaqqarun afala taqqilun“ Apakah kamu tidak berfikir, apakah kamu tidak berakal.
“Sebaik-baik ibadah adalah bertafakkur tentang Allah dan kekuasaan-Nya“ (Imam Jafar)
“Berfikir sesaat lebih baik dari pada beribadah delapan puluh tahun“ (Bukhari )
“Bangkitkan hatimu untuk berfikir” (Imam Ali. K.W)
Sebenarnya ada sebanyak lima puluh lebih ayat di dalam Al Quran yang menyinggung tentang betapa pentingnya berfikir belum lagi hadist Rasul. Tetapi semoga apa yang telah kami paparkan kiranya dapat dijadikan argumentasi untuk tidak lagi menerima fatwa-fatwa yang membatasi bahkan meragukan akal pikiran. Karena akan berdampak meragukan ayat dan hadist yang menganjurkan kita untuk berfikir.
Selanjutnya, kita bahas doktrin Al Gazali yang kedua tentang pelarangan filsafat seperti dalam bukunya “Tahafatul Falasyfah” sesatnya filsafat. Sebenarnya jauh sebelum buku ini ada Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kemunduran Islam terjadi dikarenakan mereka tidak belajar filsafat. Tetapi terlepas dari perkataan Ibnu Rusyd, kita tetap saja harus mendiskusikan doktrin tersebut. Beberapa argumentasi untuk mengugurkan doktrin ini adalah sebagai berikut :
Pertama, yang harus kita ketahui terlebih dahulu adalah apa itu filsafat ? karena jangan sampai kita melarang filsafat, sementara yang kita larang-pun kita tidak tahu! Artinya kita menolak sesuatu yang sesuatu itu kita tidak tahu. Jika demikian apa yang kita tolak, selain ketidaktahuan kita ! Saya sendiri bisa memastikan bahwa orang-orang yang menolak filsafat sesungguhnya tidak memahami filsafat.
Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang realitas atau keberadaan segala sesuatu sebagaimana adanya, dengan menggunakan akal rasional (logika). Filsafat sering juga dikatakan ibu dari segala ilmu. Dan ini memang benar karena sebagaimana definisinya, filsafat itu membahas tentang realitas. Dan semua disiplin ilmu pun membahas tentang realitas apapun namanya, kedokteran, fisika, hukum, sosial, teknik, seni, dan lain-lain. Seluruhnya tidak lepas dalam membahas realitas. Olehnya itu benarlah jika filsafat itu adalah ibu dari segala ilmu. Dengan kata lain semua disiplin ilmu telah berfilsafat. Termasuk ketika kita melarang filsafat, sesungguhnya kitapun telah berfilsafat. Karena filsafat merupakan realitas yang kita bahas. Jadi sesungguhnya ketika Al Gazali melarang filsafat beliaupun telah berfilsafat, sehingga yang beliau larang adalah dirinya sendiri.
Kedua, karena filsafat membahas segala sesuatu dari segi adanya, maka yang melarang filsafat berarti melarang membahas segala sesuatu. Jika demikian untuk apa Al Gazali membahas filsafat ?. Bukankah beliau melarang membahas segala sesuatu. Atau sebaiknya kita diam saja semuanya karena dilarang membahas apapun. Karena ketika kita membicarakan realitas, sesungguhnya telah berfilsafat lagi. Bukankah kita tidak lepas dari pembahasan adanya sesuatu itu. Apakah mungkin kita membicarakan sesuatu yang tidak ada?.
Ketiga, sebagaimana maklum, filsafat mencakup seluruh disiplin ilmu. Jika melarang filsafat berarti melarang semua disiplin ilmu. Walhasil semua universitas dan seluruh sekolah yang ada di dunia ditutup saja. Kenapa ditutup? ya.., tentu saja karena dilarang !.
Mungkin anda berfikir dan bertanya, bagaimana mungkin ulama sekaliber Al Gazali mengalami kekeliruan seperti ini? Sehingga anda lebih memilih menyalahkan kami ketimbang menyalahkan Al Gazali. Jika demikian kami pun dapat bertanya, bagaimana mungkin anda dapat berfikir bahwa Al Gazali tidak bisa keliru?
Jika anda sedikit saja mengetahui sejarah kehidupan Al Gazali niscaya anda akan setuju dengan kami. Dalam fase-fase perjalanan kehidupan Al Gazali, beliaupun pernah mengalami kebingungan-kebingungan bahkan beliau pernah mengundurkan diri ketika menjabat sebagai Rektor salah satu universitas paling terkenal di zamannya. Dikarenakan kebingungan beliau dalam memahami realitas. Bahkan telah ditulis satu buku yang berjudul “Kebingungan Al Gazali” Oleh Nicholson. Dan penjelasan kebingungan Al Gazali ini pun anda dapat membaca langsung dalam buku “Misykat Al Anwar” Yang telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul Misykat Cahaya-Cahaya. Bukan hanya itu, Prof M. Said Sheikh dalam buku beliau yang berjudul “Islami Philosopy” telah menyamakan kebingungan Al Gazali ini dengan kebingungan Rene Descertes (1596-1650), seorang idealis Perancis yang bingung itu.
Sebenarnya bukan hanya kita saja yang mengkritik Al Gazali. Ayatullah Ruhulla Al Musawi Al Khomeini pun telah mengkritik beliau dalam bukunya “40 Hadist”, pada hadist ke-24 pembahasan hadist tentang klasifikasi ilmu. Ayatullah sahid Murthada Muthahhari yang digelari mahaguru kelima juga mengkritiknya. Anda dapat langsung melihatnya dalam buku beliau “Falsafah Akhlak” Hal -27 (Pustaka Hidayah 1995) Bahkan yang paling ekstrim Ibnu Al Jawzi berkata, Keekstriman Al Gazali pada sufi kadang-kadang menyebabkannya berpaling dari fiqih Islam.(Lihat Falsafah Akhlak Hal-27).
Tetapi perlu diingat, kebingungan bukanlah hal yang buruk. Termasuk apa yang dialami Al Gazali. Karena kebingungannyalah beliau dapat mengantarkannya ke sebuah ketenangan. Tetapi harus dilihat juga mana pernyataan di saat orang lagi bingung, dan mana pernyataan saat tenang. Kita tidak bisa pukul rata.
Saya mengakhiri doktrin sesatnya filsafat ini dengan sebuah kenyataan yang saya alami sendiri, dan di dalamnya membuktikan bahwa orang-orang yang melarang filsafat sesungguhnya tidak mengetahui apa itu filsafat ?.
Kejadian ini ketika diadakan seminar di “STIMIK DIPANEGARA” Makassar, pada pertengahan tahun 2001. Dalam seminar tersebut salah satu pembicaranya adalah seorang ustaza muda. Beliau mahasiswa FKG Unhas yang tidak usah saya sebut namanya. Teman kita ini dengan sangat keras melarang filsafat. Beliau mengatakan filsafat itu haram, karena bukan Nabi Muhammad SAW─semoga shalawat tetap tercurahkan untuknya─yang mengajarkannya, filsafat itu berasal dari Yunani. Makanya sebagai umat Islam yang mengikuti Rasul kita tidak usah belajar filsafat!. Dan ketika diberi kesempatan untuk berbicara, saya langsung saja menanggapi perkataan beliau, “Saya sangat yakin ketika kita menanyakan apa itu filsafat kepada teman kita ini, pastilah ia tidak mengetahuinya. Karena hanya orang yang tidak mengetahui filsafatlah yang melarang filsafat. Walhasil, ketika beliau menjawabnya, tak satupun jawaban yang jelas keluar darinya.
Sekiranya filsafat haram karena bukan Nabi Muhammad SAW yang membawanya atau mengajarkannya, maka konsekwensinya teman kita ini harus berhenti untuk menjadi mahasiswa FKG. Karena disiplin Ilmu Kedokteran Gigi bukan juga Nabi Muhammad SAW yang membawanya atau mengajarkannya. Dan ini pun juga akan berimbas pada sebahagian besar disiplin ilmu yang ada. Dan jika kita berfikir lebih dalam lagi, alasan teman kita ini membuat ia pun harus mengharamkan orang yang mengharamkan filsafat atau mengkafirkan dirinya sendiri. Karena pelarangan filsafat bukan pula Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan.
Saya hanya mau bilang bahwa filsafat, logika, teknik, kedokteran, fisika dan beberapa disiplin ilmu lainnya memang secara disiplin ilmu bukan Nabi Muhammad SAW yang menyusunnya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengajarkannya atau mencakup semuanya. Karena sangat tidak bijak ketika mekanika quantum, quatum learning, sistem anatomi, prinsip-prinsip berfikir, dan sebagainya semuanya dijelaskan secara sistematis dalam Al Qur’an. Entah bagaimana tebalnya Al Qur’an nantinya! Cukuplah kiranya Al Qur’an mengatakan “Afala taffakkarun Afala taqqilun (apakah kamu tidak berfikir, apakah kamu tidak berakal).” Saya sendiri percaya bahwa Rasul itu mengetahui semua ilmu manusia yang hidup sebelumnya dan manusia yang hidup sesudah beliau, atau beberapa hadist ;
“Akulah kota Ilmu dan Ali lah pintunya“
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina“, Jangankan di Yunani yang dekat Rasul menyuruh kita sampai ke negeri Cina.
Imam Ali berkata, “Rasul mengajariku tujuh ribu ilmu yang setiap cabangnya bercabang lagi tujuh ribu ilmu lagi“, betapa tidak terbatasnya ilmu Rasul.
Olehnya itu, janganlah karena ketidak-tahuan kita akan sesuatu yang menyebabkan kita menolak sesuatu itu.
Tokoh ketiga yang tak lupa pula harus kita diskusikan doktrinnya adalah Al- Asy’ari (277-330. H). Ada dua pandangan beliau yang menurut saya cukup mendesak untuk kita bahas. Karena telah mendarah daging pada pemikiran umat Islam pada umumnya. Doktrin pertama beliau, yaitu pandangan beliau tentang “sifat, zat, dan perbuatan Tuhan itu “beda”. Apa implikasi dari pendangan semacam ini? dan seberapa jauh pengaruhnya pada tauhid kita ?. Untuk menjawabnya, kami memberikan dua argumentasi :
Pertama, kita mesti tahu bahwa Tuhan itu satu, satu dalam zat yakni tidak ada Tuhan selain diri-Nya yang berdiri sendiri, tidak bermula dan tidak berakhir, dan tidak ada wujud atau tuhan selain dirinya. Dan satu dalam sifat, yakni sifat-sifat-Nya tidak berbeda dengan zat-Nya. Perbedaan yang terjadi tersebut hanya dalam pahaman kita saja. Demikian pun dengan perbuataan-Nya. Perbuatan-Nya adalah sifat-Nya itu sendiri. Perbedaan perbuatan dengan zat-Nya juga hanya terjadi dalam pahaman kita saja, ketika kita menghubungkan sifatnya dengan makhluk-Nya. Tauhid seperti ini di bangun atas dasar terbatasnya semua hal atau wujud yang terangkap. Sementara jika zat Tuhan dan sifat-Nya serta perbuatan-Nya berbeda, maka hal ini menandakan bahwa Tuhan terangkap dari zat, sifat, dan perbuatan-Nya tadi. Jika semua yang terangkap itu terbatas, maka keterangkapan Tuhan ini membuat-Nya terbatas pula. Sebab semua rangkapan tersebut satu sama lain saling membatasi. Oleh karena itu semua rangkapannya terbatas. Dan gabungan yang terbatas sebanyak apapun dan seluas apapun tetap akan menghasilkan keterbatasan pula. Selanjutnya setiap yang terbatas memiliki awal dan akhir. Dengan demikian jika Tuhan itu terbatas, berarti Tuhan memiliki awal dan akhir pula. Hal ini jelas mustahil. Sebab jika Tuhan memiliki awal dan akhir, berarti sebelum awal ia tidak ada. Dan jika sebelumnya ia tidak ada, berarti ia bukan Tuhan. Atau sebelumnya ia tidak ada dan setelah awal ia baru ada, berarti ia dicipta oleh sesuatu sebelum dirinya, yang lebih dahulu ada dari dirinya. Sementara yang namanya Tuhan itu haruslah pencipta, bukan ciptaan.
Kedua, ketika menggunakan kata “beda” pada kalimat zat, sifat dan perbuatan berbeda maka kata beda tersebut memiliki makna ada dua sesuatu atau lebih yang dibedakan. Yang mana sesuatu tersebut berbeda dengan sesuatu yang lainnya. Karena mustahil kita membedakan sesuatu yang sama. Artinya kata beda memiliki arti lebih dari satu, karena jika sesuatu itu satu berarti dia tidak berbeda. Di sisi lain, inti dari makna kata “Tauhid” sendiri adalah meng-Esakan. Sehingga jika kita mengatakan bahwa zat, sifat, dan perbuatan-Nya berbeda berarti sesungguhnya kita tidak bertauhid.
Meski kami mengemukakan argumentasi seperti di atas, namun masih ada saja orang yang mempertahankan bahwa zat, sifat, dan perbuatan Tuhan itu berbeda. Dengan mengatakan bahwa perbedaannya tetapi tetap satu. Jika memegang keyakinan seperti ini, berarti tidak ada bedanya dengan konsep trinitas dari teologi Kristen. Yakni, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Roh Kudus. Yang diklaim berbeda tetapi tetap satu.
Untuk lebih yakin, sebaiknya mari kita renungi perkataan salah seorang murid terbesar Rasulullah SAW, Imam Ali. Kw semoga shalawat dan taslim tercurahkan untuknya. Beliau berkata dalam Nahjul Balagha bahwa;
“ Pangkal agama adalah ma’rifat-Nya (pengetahuan tentang-Nya), dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya, dan kesempurnaan pembenaran adalah meng-Esakan-Nya, dan kesempurnaan peng-Esaan-Nya adalah ikhlas kepada-Nya, dan kesempurnaan ikhlas kepada-Nya adalah meniadakan sifat-sifat dari-Nya, karena setiap sifat bukanlah yang disifati, dan yang disifati bukanlah sifat, maka barangsiapa yang mensifati Allah SWT, berarti ia telah memberikan pasangan kepadanya, dan barangsiapa yang telah memberikan pasangan kepada-Nya maka ia telah menggambarkan-Nya, dan barangsiapa yang telah menggambarkan-Nya, berarti ia telah membagi-Nya, dan barangsiapa yang telah membagi-Nya maka ia telah berlaku jahil kepada-Nya, dan barangsiapa yang telah berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya, dan barangsiapa yang menunjuk-Nya, berarti ia telah memberi batasan kepada-Nya, dan barangsiapa yang telah membatasi-Nya berarti ia telah menjadikan-Nya berjumlah (banyak)….”. (Nahjul Balagha Hal- )
Karena pembahasan ini berhubungan dengan masalah keimanan yang merupakan sesuatu yang tidak ada paksaan di dalamnya serta tidak diperbolehkan adanya taklid (ikut-ikutan). Maka semuanya tergantung pada diri kita masing-masing, apakah nantinya kita tetap mengikuti pandangan Al Asy’ari atau harus mengkaji ulang keber-imanan kita yang sesuai dengan argumentasi kita masing-masing yang tentunya lebih logis dan benar.
Doktrin kedua Al Asy’ari yang lebih menyesatkan lagi yakni, doktrin “keterpaksaan” (jabr) dalam memahami takdir. Doktrin ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Allah secara langsung. Apa yang kita lakukan ini hanya dilakukan secara terpaksa saja, sehingga menapikan adanya kebebasan manusia. Kaum yang berpahaman seperti ini disebut kaum Jabariyah. Mereka juga mengutip beberapa ayat dalam Al Qur’an untuk menguatkan pemahaman mereka, antara lain :
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis pada suatu kita sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS 57: 22).
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan, dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS 6: 9).
“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS 65: 3)
“Sesungguhnya kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya.“(QS 54: 49)
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah sumbernya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”(QS 15: 21)
“Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.“ (QS 14: 4 )
“Katakanlah, wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau mencabut kerajaan orang yang Engkau kehendaki, Engkau memuliakan orang yang Engkau kehendaki dan menghinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.“ (QS 3: 26 )
Berdasarkan pemahaman seperti inilah, maka tidak heran jika muncul ungkapan-ungkapan kepasrahan yang tidak beralasan, yang seringkali didengar dalam masyarakat, misalnya;
“Kita harus percaya takdir baik, takdir buruk.“
“Jika Tuhan telah mentakdirkan buruk kita terima saja.”
“Karena apapun yang kita lakukan adalah kehendak Tuhan.“
“Rezeki, jodoh, maut, Tuhanlah yang menentukan, kita tinggal menerimanya saja.”
“Takdir memang kejam.“
“Jika Tuhan menghendaki kita bercerai, Ya.., apa boleh buat kita terima saja.”
Saya sangat sakit hati mendengar ungkapan-ungkapan kepasrahan, keterpaksaan seperti ini. Dengan dalil untuk memuliakan Tuhan, yang justru malah tidak memuliakan Tuhan. Karena yang menjadi pertanyaan kita hari ini. Apakah betul selama ini kita melakukan sesuatu secara terpaksa ?. Sebagaimana pengklaiman kaum Jabariyah dan apa implikasinya pemahaman seperti ini ?.
Ketahuilah, bahwa di Al Qur’an telah memberikan kebebasan kepada kita untuk menentukan sesuatu bahkan dapat mengubah nasib kita sendiri. Misalnya seperti dalam ayat :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 16: 112 )
“Allah tidak sekali-kali hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.“ (QS 29: 40 )
“Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS 41: 46 )
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang hendak kafir, biarlah ia kafir.” (QS 18: 29)
“Telah tampak kerusakan di darat dan lautan disebabkan karena perbuatan manusia.”(QS 30:41)
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka kami akan tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami akan berikan kepadanya sebahagian keuntungan di dunia.”(QS 42:20)
Adapun dampak pemahaman keterpaksaan (Jabr), akan mengakibatkat konsep surga dan neraka akan tidak berarti lagi, konsep amal dan dosa juga demikian, karena semuanya adalah kehendak Tuhan. Bukankah yang menginginkan kita untuk masuk neraka adalah Tuhan, dan yang menghendaki kita masuk surga adalah Tuhan pula. Serta bukankah yang menciptakan kehendak berbuat dosa adalah Tuhan dan menciptakan kehendak berbuat baik adalah Tuhan. Terus, atas dasar apa Tuhan menghukum kita jika semuanya adalah kehendak-Nya ?. Dan ini juga akan melumpuhkan kehendak untuk berusaha pada manusia, kehendak untuk berjuang. Karena toh juga kaya dan miskinnya seseorang telah diatur, rezeki seseorang telah ditentukan. Pahaman Jabariyahlah yang memberikan kekuatan kepada para tirani, penindas, dan pada saat yang sama mengikat erat-erat kaum tertindas. Anda bisa bayangkan jika mereka kaum penindas mengatakan bahwa kami ini ditakdirkan berkuasa atas kalian dan sebaliknya kalian telah ditakdirkan sebagai rakyat yang tertindas, olehnya itu kalian harus menerimanya. Serta kami telah diberikan bakat dan kemampuan untuk kaya, mengumpulkan harta, dan kalian tidak diberikan hal semacam itu. Kalian lebih baik miskin di dunia dari pada miskin di akhirat. Olehnya itu kalian harus bersabar saja, rela dan bersyukurlah. Terima saja apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan kepadamu. Dan kami juga akan menerima apa yang ditakdirkan kepada kami. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh Muawiyah cs.
Jika diperhatikan antara beberapa ayat-ayat yang disebutkan oleh kaum Jabariyah dan ayat yang kami sebutkan, mungkin anda akan berfikir bahwa ayat-ayat tersebut saling bertentangan. Tetapi sekiranya memakai sedikit saja logika, kita tidak bakalan kebingungan. Silahkan anda membuka buku “Manusia dan Agama” dan “Keadilan Ilahi” karya Ayatullah Murthada Muthahhari jika penasaran akan jawabannya. Karena kami pada kesempatan ini hanya menunjukkan kekeliruan doktrin Al-Asy’ari. Tetapi bukan berarti kami membenarkan pahaman kebebasan (Qadariyah), seperti yang diklaim oleh orang-orang Mu’tazilah.