Ikan remaja pun terhenyak, bergelatar-gelatar sirip-sirip ekornya, menahan hasrat demi hasrat yang telah lama tertahan. Sembari menahan detak gejolak darah mudanya, ikan kecil pun bertanya pada ikan besar: “Duhai bapakku, pemimpinku, dapatkah engkau jelaskan padaku di mana aku dapat menjumpai lautan? Kudengar dari pembicaraan para keong, bahwa lautan itu sangat agung dipenuhi dengan segenap mutiara dan manik-manik yang indah. Disinari oleh hangat surya mentari dan senantiasa membiru menahan malu karena mentari nan selalu menatap?”
Ikan besar pun mendengus perlahan… Oh… adakah pertanyaan lain duhai anakku. Sungguh pertanyaan ini membebani punggungku lantaran beratnya, dan kerumitannya telah membutakan mataku. Serasa putus saraf otakku karena ketegangannya. Betapa mungkin aku jelaskan masalah ini kepadamu tanpa bertambahnya kegalauanmu. Betapa mungkin kuuraikan masalah ini tanpa kemarahanmu?
Ikan remaja pun bersedih, sedih sekali, sehingga berurai air matanya membasahi pipinya. Setumpuk keputus-asaan mengisi segenap relungnya. Pilu sekali. Kepiluan murni dari nurani. Kepilauan karena guncangan-guncangan keingintahuan yang tak kunjung reda.
Akhirnya luluh lantahlah dada dan jantung ikan besar. Berhenti detak-detaknya karena kasih sayangnya kepada sang ikan remaja demikian tulus diremas-remas oleh tangisan dan dihempas ke langit-langit yang tinggi. Tapi…ah buang saja keraguan ke jurang ketiadaan mutlak. Aku akan menjawabnya. Ya... aku akan menjawabnya.
” Berhentilah bersedih hai anakku sayang! Saya akan menjawabnya asalkan kamu berhenti bersedih! Ketahuilah anakku laut ini ada di sini, tidak pernah terpisah barang sesaat darimu, tidak pula dia adalah dirimu sendiri. Ia meliputimu tanpa suatu persatuan, dan ia bukanlah dirimu tanpa suatu perpisahan. Semenjak engkau bisa kedipkan matamu, sejak insangmu menikmati serap-serap udara, sejak sirip dan ekormu menari malu, engkau telah ada dan senantiasa ada dalam lautan itu, selama engkau masih hidup. Ya selama engkau masih hidup.”
Betapa terkejutnya ikan remaja, linglung, dan matanya sejenak meredup. Bayang-bayang gelap pun menyatroninya. Terbelalak matanya bak mawar yang mengalirkan darah. Seraya berkata; “Aku tak tahu, aku tak paham… Pasti dia salah. Pasti dia sesat. Pasti dia berusaha menyesatkanku menuntunku dalam kegelapan. Dia kafir, dia harus dibunuh, halal darahnya, ia harus ditiadakan agar tidak ada lagi remaja-remaja lain yang disesatkannya. Dia harus dibunuh demi kelangsungan bangsa ikan. Dia harus dibunuh demi sang pencari lautan sejati!”
Sergap tangkas ikan remaja nan ada di puncak kekuatannya pun mengoyak-ngoyak serpih demi serpih tubuh ikan besar nan bijaksana. Darah pun muncrat, darah pun mengalir dan menetes, beserta tetesan jutaan ikan besar, ikan besar yang ada di dunia. Tubuhnya pun tergeletak kaku tak berarti. Tetapi ruhnya membumbung tinggi sampai ke mentari-mentari yang selalu menyinari lautan, dengan cahaya lembutnya bak merpati putih terbang jauh. Jauh meninggalkan bangsa ikan….
“(Dikutip dari Mukaddimah Kumpulan Logika Dimitri Mahayana)”
Kurang lebih seperti itulah gambaran hubungan akal dengan manusia. Ibarat seekor ikan dengan lautan. Manusia sebagai ikannya dan akal sebagai lautannya. Jadi sekali lagi, akal selalu bersama kita, tidak pernah berpisah barang sesaat. Akal meliputi kita tanpa suatu persatuan, dan akal bukanlah diri kita tanpa suatu perpisahan. Sejak pertama, kita menangis di muka bumi ini, kita senantiasa hidup dengan akal kita, dalam akal kita, beserta akal kita. Apapun yang kita lakukan semuanya melalui akal, ya... semuanya melalui akal. Sadar atau tidak sadar. Sekali lagi perlu digaris bawahi sadar atau tidak sadar.
Sebagai contoh, ketika seorang bayi menangis minta susu. Ia menyadari bahwa dirinya dahaga. Dan ia menyadari bahwa dirinya adalah dirinya. Dan dirinya berbeda dengan bukan dirinya. Jika susu diberikan pada kakaknya ia akan tetap menangis. Karena dirinya hanya sama dengan dirinya. Dan berbeda dengan kakaknya. Kakaknya hanya sama dengan diri kakaknya. Ini adalah prinsip akal. Yang dalam logika kita sebut dengan istilah “Prinsip Nonkontradiksi.” Bayi yang haus, kok malah kakaknya yang diberi susu. Berdasarkan prinsip Nonkontradiksi tersebut, pastilah si bayi akan tetap menangis. Dan sekiranya tidak ada prinsip akal tersebut, pastilah semua bayi yang ada akan mati kehausan. Kenapa mesti mati? Ya! Bayi tersebut mati karena dia tidak bisa membedakan mana haus dan mana tidak haus. Dan jika bayi tersebut tidak bisa membedakannya, maka ia pun tidak menangis untuk meminta susu karena kehausan, meskipun si bayinya lagi kehausan. Dan karena bayinya tidak menangis meski lagi haus, maka orang tuanya pun tidak akan memberikannya susu untuk diminum. Dan jika orang tuanya tidak memberikan minum konsekwensinya, si bayi akan mati kehausan.
Meskipun kami memberikan contoh yang begitu sederhana, tetap saja kami khawatir, jika nasib kami kelak seperti ikan besar yang terkoyak habis oleh gigi ikan remaja. Kekhawatiran kami bukanlah dikarenakan takut akan darah kami tertumpa, tidak pula kekhawatiran kami dikatakan gila atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat Akan tetapi kekhawatiran kami tiada lain dikarenakan semakin semaraknya kebodohan-kebodohan yang berkedok intelektual, kegelapan yang bersembunyi dengan baju ayat, kesesatan-kesesatan yang bertopeng sains dan teknologi, oportunis-oportunis yang berlindung di balik dinding agama. Dan setan-setan yang berwajah manusia telah meraja lela, menghegemoni, menghancurkan semuanya, melumat habis semuanya, serta membumi hanguskan umat manusia, sehingga jadilah anak cucu Adam berubah menjadi singa-singa hutan yang siap memangsa sesama warga hutan. Yang berdampak pada kita semua akan menjadi bahan bakar neraka kelak-Na ‘uudzu billahi min dzalik.
“ Tuhanku…Kepada siapa lagi kami memohon..
Tuk keselamatan umat ini…
Ya…Rasulullah hanya engkaulah tempat kami bertawassul…
Karena hanya engkaulah Bapak umat ini..
Ya...Imam-Imam kami...Terpaksa pula engkau kami libatkan…
Karena hanya engkaulah yang mampu menjaga Risalah kakekmu...
Lihatlah ummat ini yang begitu terpuruk dalam kegelapan…
Yang terkungkung dalam pasukan nafsunya…
Maka terkalahkanlah akalnya…
Olehnya itu, kusangat memohon …
Agar Engkau jadikan darahku layak, untuk menerima seberkas cahaya-Mu…
Ya...Hanya seberkas cahaya-Mu-, Cahaya Ilahi, ke-Nabian, dan Ke-Imamahan..
Sehingga jadilah diriku lilin yang berpendar lembut dalam kegelapan umat ini...
Menerangi pikiran demi pikiran yang terjerumus dalam jurang fatarmorgana…
Sehingga Engkau dapat tersenyum sebagaimana Engkau layak tersenyum”
Ikan besar pun mendengus perlahan… Oh… adakah pertanyaan lain duhai anakku. Sungguh pertanyaan ini membebani punggungku lantaran beratnya, dan kerumitannya telah membutakan mataku. Serasa putus saraf otakku karena ketegangannya. Betapa mungkin aku jelaskan masalah ini kepadamu tanpa bertambahnya kegalauanmu. Betapa mungkin kuuraikan masalah ini tanpa kemarahanmu?
Ikan remaja pun bersedih, sedih sekali, sehingga berurai air matanya membasahi pipinya. Setumpuk keputus-asaan mengisi segenap relungnya. Pilu sekali. Kepiluan murni dari nurani. Kepilauan karena guncangan-guncangan keingintahuan yang tak kunjung reda.
Akhirnya luluh lantahlah dada dan jantung ikan besar. Berhenti detak-detaknya karena kasih sayangnya kepada sang ikan remaja demikian tulus diremas-remas oleh tangisan dan dihempas ke langit-langit yang tinggi. Tapi…ah buang saja keraguan ke jurang ketiadaan mutlak. Aku akan menjawabnya. Ya... aku akan menjawabnya.
” Berhentilah bersedih hai anakku sayang! Saya akan menjawabnya asalkan kamu berhenti bersedih! Ketahuilah anakku laut ini ada di sini, tidak pernah terpisah barang sesaat darimu, tidak pula dia adalah dirimu sendiri. Ia meliputimu tanpa suatu persatuan, dan ia bukanlah dirimu tanpa suatu perpisahan. Semenjak engkau bisa kedipkan matamu, sejak insangmu menikmati serap-serap udara, sejak sirip dan ekormu menari malu, engkau telah ada dan senantiasa ada dalam lautan itu, selama engkau masih hidup. Ya selama engkau masih hidup.”
Betapa terkejutnya ikan remaja, linglung, dan matanya sejenak meredup. Bayang-bayang gelap pun menyatroninya. Terbelalak matanya bak mawar yang mengalirkan darah. Seraya berkata; “Aku tak tahu, aku tak paham… Pasti dia salah. Pasti dia sesat. Pasti dia berusaha menyesatkanku menuntunku dalam kegelapan. Dia kafir, dia harus dibunuh, halal darahnya, ia harus ditiadakan agar tidak ada lagi remaja-remaja lain yang disesatkannya. Dia harus dibunuh demi kelangsungan bangsa ikan. Dia harus dibunuh demi sang pencari lautan sejati!”
Sergap tangkas ikan remaja nan ada di puncak kekuatannya pun mengoyak-ngoyak serpih demi serpih tubuh ikan besar nan bijaksana. Darah pun muncrat, darah pun mengalir dan menetes, beserta tetesan jutaan ikan besar, ikan besar yang ada di dunia. Tubuhnya pun tergeletak kaku tak berarti. Tetapi ruhnya membumbung tinggi sampai ke mentari-mentari yang selalu menyinari lautan, dengan cahaya lembutnya bak merpati putih terbang jauh. Jauh meninggalkan bangsa ikan….
“(Dikutip dari Mukaddimah Kumpulan Logika Dimitri Mahayana)”
Kurang lebih seperti itulah gambaran hubungan akal dengan manusia. Ibarat seekor ikan dengan lautan. Manusia sebagai ikannya dan akal sebagai lautannya. Jadi sekali lagi, akal selalu bersama kita, tidak pernah berpisah barang sesaat. Akal meliputi kita tanpa suatu persatuan, dan akal bukanlah diri kita tanpa suatu perpisahan. Sejak pertama, kita menangis di muka bumi ini, kita senantiasa hidup dengan akal kita, dalam akal kita, beserta akal kita. Apapun yang kita lakukan semuanya melalui akal, ya... semuanya melalui akal. Sadar atau tidak sadar. Sekali lagi perlu digaris bawahi sadar atau tidak sadar.
Sebagai contoh, ketika seorang bayi menangis minta susu. Ia menyadari bahwa dirinya dahaga. Dan ia menyadari bahwa dirinya adalah dirinya. Dan dirinya berbeda dengan bukan dirinya. Jika susu diberikan pada kakaknya ia akan tetap menangis. Karena dirinya hanya sama dengan dirinya. Dan berbeda dengan kakaknya. Kakaknya hanya sama dengan diri kakaknya. Ini adalah prinsip akal. Yang dalam logika kita sebut dengan istilah “Prinsip Nonkontradiksi.” Bayi yang haus, kok malah kakaknya yang diberi susu. Berdasarkan prinsip Nonkontradiksi tersebut, pastilah si bayi akan tetap menangis. Dan sekiranya tidak ada prinsip akal tersebut, pastilah semua bayi yang ada akan mati kehausan. Kenapa mesti mati? Ya! Bayi tersebut mati karena dia tidak bisa membedakan mana haus dan mana tidak haus. Dan jika bayi tersebut tidak bisa membedakannya, maka ia pun tidak menangis untuk meminta susu karena kehausan, meskipun si bayinya lagi kehausan. Dan karena bayinya tidak menangis meski lagi haus, maka orang tuanya pun tidak akan memberikannya susu untuk diminum. Dan jika orang tuanya tidak memberikan minum konsekwensinya, si bayi akan mati kehausan.
Meskipun kami memberikan contoh yang begitu sederhana, tetap saja kami khawatir, jika nasib kami kelak seperti ikan besar yang terkoyak habis oleh gigi ikan remaja. Kekhawatiran kami bukanlah dikarenakan takut akan darah kami tertumpa, tidak pula kekhawatiran kami dikatakan gila atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat Akan tetapi kekhawatiran kami tiada lain dikarenakan semakin semaraknya kebodohan-kebodohan yang berkedok intelektual, kegelapan yang bersembunyi dengan baju ayat, kesesatan-kesesatan yang bertopeng sains dan teknologi, oportunis-oportunis yang berlindung di balik dinding agama. Dan setan-setan yang berwajah manusia telah meraja lela, menghegemoni, menghancurkan semuanya, melumat habis semuanya, serta membumi hanguskan umat manusia, sehingga jadilah anak cucu Adam berubah menjadi singa-singa hutan yang siap memangsa sesama warga hutan. Yang berdampak pada kita semua akan menjadi bahan bakar neraka kelak-Na ‘uudzu billahi min dzalik.
“ Tuhanku…Kepada siapa lagi kami memohon..
Tuk keselamatan umat ini…
Ya…Rasulullah hanya engkaulah tempat kami bertawassul…
Karena hanya engkaulah Bapak umat ini..
Ya...Imam-Imam kami...Terpaksa pula engkau kami libatkan…
Karena hanya engkaulah yang mampu menjaga Risalah kakekmu...
Lihatlah ummat ini yang begitu terpuruk dalam kegelapan…
Yang terkungkung dalam pasukan nafsunya…
Maka terkalahkanlah akalnya…
Olehnya itu, kusangat memohon …
Agar Engkau jadikan darahku layak, untuk menerima seberkas cahaya-Mu…
Ya...Hanya seberkas cahaya-Mu-, Cahaya Ilahi, ke-Nabian, dan Ke-Imamahan..
Sehingga jadilah diriku lilin yang berpendar lembut dalam kegelapan umat ini...
Menerangi pikiran demi pikiran yang terjerumus dalam jurang fatarmorgana…
Sehingga Engkau dapat tersenyum sebagaimana Engkau layak tersenyum”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar