Erosi yang masih diperbolehkan
Erosi yang masih diperbolehkan adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi perumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad, 1989).
Menurut Kartasapoetra (2000), yang dimaksudkan dengan erosi yang masih diperbolehkan (Soil Loss Tolerance) yaitu untuk mengetahui besarnya erosi yang mungkin dapat diimbangi atau lebih diimbangi dengan tindakan atau perlakuan manusia yang dapat membantu lajunya pembentukan tanah, sehingga besarnya erosi selalu dibawah laju pembentukan tanah.
Kecepatan pembentukan tanah di Indonesia cukup beragam, tergantung dari jenis batuan (bahan) induk dan faktor-faktor pembentuk tanah lainnya. Suhu dan curah hujan yang tinggi di Indonesia juga mempercepat proses pembentukan tanah.
Thompson (1957) dalam Suprapta (1996) menentukan batas tingkat erosi yang masih diperbolehkan mendasarkan pada kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi substratum. Wischmeier dan Smith (1978) mengemukakan dasar-dasar untuk menentukan tingkat erosi yang masih diperbolehkan dengan memperhatikan kedalaman tanah, sifat-sifat fisik tanah yang mempengaruhi perkembangan akar, pencegahan terbentuknya erosi parit, penyusunan kandungan bahan organik, kehilangan unsur hara dan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sedimen di lapangan. Wischmeier dan Smith telah menetapkan angka tingkat erosi yang masih diperbolehkan adalah antara 4,48 sampai 111,21 ton/ha/th.
Menurut Bennet (1939), Hudson (1876) perkiraan pembentukan tanah atas setebal 2,5 cm, atau kira-kira 375 ton/hektar, terjadi selama 300 tahun dalam kondisi alami (Saifuddin, 1978, dalam Suprapta, 1996). Tetapi waktu pembentukan tanah ini dapat dipercepat menjadi kira-kira 30 tahun saja, apabila dilakukan pengelolaan tanah sehingga tata air dan tata udara diperbaiki dan penambahan bahan organik.
Suatu pembentukan tanah setebal 25 mm selama 30 tahun kira-kira akan sama dengan 12,5 ton/ha/th (Saifuddin, 1978, dalam Suprapta,1996). Sebagai gambaran besarnya tingkat erosi yang masih diperbolehkan sesuai dengan sifat tanah dan substrata, Soil Conservation Service.
Untuk tanah-tanah di Indonesia oleh Arsyad telah ditentukan besarnya tanah tererosi berdasarkan atas sifat tanah dan keadaan substratum yang dikenal dengan nilai “ T “ (laju erosi yang masih dibiarkan dalam mm).
Satuan lahan diartikan sebagai suatu areal lahan yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang dapat ditentukan batasnya pada peta (Mangunsukardjo, 1985, dimodifikasi dari FAO, 1978 dalam Nasiah, 2000). Batasan yang dimaksud adalah mengklasifikasikan lahan berdasarkan kesamaan kemiringan lereng, karakteristik relief/morfologi, struktur/litologi, proses geomorfologi, vegetasi/penggunaan lahan (Mangunsukardjo, 1985).
Dalam rencana penelitian ini satuan lahan diperoleh dari hasil tumpangsusun (overlay) peta kemiringan lereng, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta geologi.
Daftar Pustaka
- Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
- Kartasapoetra, dkk. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
- Suprapto. 2000. Geomorpologi Dasar. Jurusan Geografi. FMIPA, UNM. Makassar. Suprojo, Suratman Woro dan Jamulya. 1993. Pengantar Geografi Tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Fakultas Geografi. Yogyakarta.
- Nasiah. 2000. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Tingkat Bahaya Erosi Untuk Prioritas Konservasi Lahan di Daerah Aliran Sungai Takapala Kabupaten Dati II Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca sarjana, UGM. Yogyakarta.