Apakah akal itu? Tidak seorang pun mengetahui hakikat akal. Kita tidak dapat mengetahui hakikat mutiara berharga ini. Kita hanya mampu mengetahuinya melalui efek-efek yang ditimbulkan, bisa juga melalui fungsinya. Pada umumnya para filosof mendefinisikan akal berdasarkan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh akal. Menurut mereka jika mengetahui pengaruhnya berarti kita akan mengenali buahnya. Olehnya itu sebaiknya kita melihat beberapa pengertian akal oleh para filosof.
Allamah Majlisi-Semoga Allah memberikan tempat yang layak untuknya-dalam kitabnya Mira-at Al-uqul berkata, “Akal secara bahasa, adalah pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah, akal dipergunakan untuk menunjukkan salah satu definisi dibawah ini:
1. Kemampuan untuk memilah-milah antara kebaikan dan keburukan, juga dapat mengetahui sarana-sarana yang mengakibatkan atau mencegah masing-masing dari keduanya.
2. Fakultas atau keadaan dalam jiwa manusia yang mengajaknya memilih kebaikan dan keuntungan, dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
3. Kekuatan yang dipergunakan untuk mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum syariat dan digunakan dalam hal-hal yang dianggap baik oleh syariat.
4. Jiwa rasional yang membedakan manusia dengan seluruh binatang lain.
5. Substansi azali yang tidak bersentuhan dengan materi. Baik dari segi esensial, maupun aktual.
6. Tingkatan (jauh dekatnya) kesiapan (potensialitas) jiwa untuk menerima konsep-konsep universal.
Shadr Al-Muta’allihin Mulla Sadra-Semoga Allah mensucikan jiwanya-Dalam buku beliau Syarh Ushul Al-Kafi, Kitab Al-Aql wa Al-Jahl, dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan A’ql ( biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan intelek) adalah sama dengan Nabi Muhammad SAW dalam seluruh martabat keberadaan beliau. Mengapa? Karena, sifat-sifat akal seluruhnya sesuai dengan sifat-sifat Rasul SAW yang agung, yaitu :
- Hadist yang menggambarkan akal berbicara dengan Allah persis juga pada peristiwa mi’raj Nabi, Allah juga mengajak beliau berbicara.
- Hadist yang menggambarkan ketaatan akal pada Allah. Dan ketaatan Nabi SAW kepada Allah adalah jelas dengan sendirinya (baca: tidak diragukan lagi).
- Makhluk yang paling disayang oleh Allah adalah Nabi Muhammad SAW. Bahkan alam ini dicipta hanya untuk Muhammad SAW dan melalui nurul Muhammad. Akal pun demikian, alam ini tak tercipta kecuali melalui akal pertama, kedua, dan seterusnya. Sebagaimana maklum hal ini sejalan dengan dalil-dalil tradisional maupun argumen filosofis.
- Keimanan kepada keberadaan Nabi Muhammad SAW (kenabian) beliau, adalah salah satu sebab kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid bergantung pada kesempurnaan penggunaan akal itu sendiri.
Ayatullah Allamah M.H.Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan, ketika menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 130, menyimpulkan bahwa akallah sesuatu yang dengannya Allah disembah. Dengan kata lain akallah lentera menuju kebenaran.
Muhaqiq Lahiji dalam Syarh Gulsyan-e Raz berkata, ”Akal dan ruh, jiwa rasional dan hati adalah satu hakikat. Namun terjadi berbagai gradasi eksistensial, maka mereka memiliki hukum-hukum dan sifat-sifat yang berbeda dan tingkatannya diperkenalkan dengan nama-nama yang berbeda-beda pula”.
Yang Mulia Guru kami DR.Ir.Dimitri Mahayana M.Eng. Secara tidak langsung memberikan pengertian akal dalam buku Kumpulan Logika yang disusunnya. Beliau berkata; “Akal adalah manifestasi internal keberadaan Nabi Muhammad SAW. Karena bagaimanapun manifestasi mesti mencerminkan perbuatannya. Dengan demikian segala yang muncul dari ucapan, amalan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW pasti rasional (baca : selaras dengan akal). Lebih dari itu, Nabi Muhammad SAW adalah kriteria rasionalitas dan rasionalitas segala sesuatu. Dan Al Qur’an adalah manifestasi paling sempurna hakikat Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul (q.s) berkata : Ketahuilah bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah mutiara cemerlang yang dinamai-Nya Akal (‘aql ). Mutiara ini diberikannya tiga sifat. Yaitu kemampuan untuk mengenal Allah, kemampuan untuk mengenal dirinya, dan kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dan dari kemampuan mengenal Allah muncullah keindahan. Dari kemampuan mengenal dirinya muncullah cinta. Serta kemampuan mengenal apa yang belum ada kemudian ada timbullah kesedihan. Dan dari ketiganya ini adalah bersumber dari satu realitas.
Gurunya-Guru kami Sayyid Musa Al Khazim-Semoga Allah menjadikan darahku layak untuk menjadi tebusannya-mengatakan bahwa akal dalam banyak ayat Al Qur’an adalah kegiatan yang bermula pada pembuktian logis dan konklusif. Beliaupun melanjutkan bahwa akal memiliki realitas yang berbeda-beda, yang setiap perwujudannya memainkan peran baiknya sendiri-sendiri.
Imam Jafar Ash-Shadiq.(as) mengatakan bahwa, “perbedaan orang berakal dan orang dungu adalah, orang berakal mengucapkan suatu ucapan dengan pertimbangan dan melakukan suatu perbuatan juga dengan pertimbangan. Atau ia berpikir dahulu, lalu berkata dan berbuat. Tetapi orang dungu, ia berbicara atau bertindak tanpa pertimbangan dan tanpa perhitungan lalu menyesali perbuatannya.” (Mengendalikan Naluri, hal-71, Husain Mazhahiri, 2001)
Imam Al-Khazim berkata kepada Hisyam, “Allah telah menganugerahi manusia dengan dua hujjah: satu diantaranya tampak dan satu lagi tersembunyi. Hujjah yang tampak adalah para Nabi dan para Imam, dan hujjah yang tidak tampak adalah akal dan intelenjensi yang ada dalam diri kita.” (Hijrah Menuju Allah, Hal-72, Ibrahim Amini)
Imam Ali Ar-Ridha berkata, “Akal adalah teman bagi semua orang dan musuh akal adalah kejahilan.” (Lihat buku Hijrah Menuju Allah, Hal-72, Ibrahim Amini, Pustaka Hidayah 2001).
Dalam sebuah hadist, Nabi mengibaratkan akal sebagai kerajaan yang memiliki berbagai pasukan. Yang menurut Sayyid Musa Al Khazim selain menggambarkan kebesaran dan signifikan kedudukan akal, ungkapan “kerajaan akal” nampaknya juga menunjukkan besarnya ranah (domain) akal dalam kehidupan manusia. Dalam hadist itu Nabi menyebut kebaikan sebagai Perdana Menteri kerajaan akal. Sedang harapan, hasrat, rasa syukur, belas kasih, kehalusan, ketenangan, kesabaran, kelembutan, cinta, semuanya adalah prajurit-prajurit dalam kerajaan tersebut. Demikian pula tentunya dengan kebenaran, pengetahuan, pemahaman, ingatan, upaya mengingat, keadilan, dan kecerdasan.
Dalam hadist yang lain, Nabi menunjukkan bahwa akal melahirkan pertimbangan, yaitu pertimbangan pengetahuan. Dari pengetahuan tumbuh petunjuk yang benar. Dari petunjuk yang benar muncul pantangan dan kehati-hatian. Dari pantangan timbul pengendalian diri. Dari pengendalian diri timbul rasa malu. Dari rasa malu tercipta ketakutan. Dari ketakutan akan melahirkan amal baik. Dari amal baik bersemi kebencian akan kejahatan. Dan dari kebencian akan kejahatan akan ada kepatuhan pada nasihat yang baik.
Dari beberapa pengertian akal, baik para filosof maupun para Imam. Mereka hanya membicarakan akal berdasarkan pengaruhnya saja. Bahkan dalam Al-Qur’an akal di sebutkan hanya dari segi efek yang ditimbulkan saja. Misalnya dalam QS. Al-Mulk: 67, orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai penghuni neraka. Dalam QS. Yunus : 42, Al Qur’an menempatkan akal sebagai sarana mendengar dan yang tidak berakal sebagai tuli. Dalam QS. Yunus :10, akal diposisikan sebagai syarat keberimanan seseorang dan yang tidak menggunakannya sebagai orang yang dimurkai Allah. Dalam QS. Ar Rum : 24, meletakkan fenomena alam tanda bagi orang yang berakal. Dalam QS. Az-zumar :18, Allah menyatakan orang yang mendapat petunjuk adalah orang-orang yang berakal. Dalam QS. Al-An’aam : 166, Membuktikan bahwa orang yang tidak berakal akan hanya mengikuti hawa nafsu dan persangkaan saja. Dalam QS 8: 22, orang yang tidak berakal dipandangan Allah sebagai binatang buas yang sangat buruk.
Dari beberapa pengertian yang ada, cukuplah kiranya kita mempunyai gambaran yang jelas tentang pentingnya akal dalam hidup ini. Sehingga mengetahui bahwa akallah sebagai penentu kebermanusiaan kita. Sebagaimana Hadist qudsi yang menyebut akal sebagai ciptaan pertama yang sekaligus mengindikasikan bahwa perjalanan manusia untuk menemukan yang dicarinya, semua bergantung seberapa besar penggunaan akal dalam kehidupan ini.
Allamah Majlisi-Semoga Allah memberikan tempat yang layak untuknya-dalam kitabnya Mira-at Al-uqul berkata, “Akal secara bahasa, adalah pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah, akal dipergunakan untuk menunjukkan salah satu definisi dibawah ini:
1. Kemampuan untuk memilah-milah antara kebaikan dan keburukan, juga dapat mengetahui sarana-sarana yang mengakibatkan atau mencegah masing-masing dari keduanya.
2. Fakultas atau keadaan dalam jiwa manusia yang mengajaknya memilih kebaikan dan keuntungan, dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
3. Kekuatan yang dipergunakan untuk mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan hukum syariat dan digunakan dalam hal-hal yang dianggap baik oleh syariat.
4. Jiwa rasional yang membedakan manusia dengan seluruh binatang lain.
5. Substansi azali yang tidak bersentuhan dengan materi. Baik dari segi esensial, maupun aktual.
6. Tingkatan (jauh dekatnya) kesiapan (potensialitas) jiwa untuk menerima konsep-konsep universal.
Shadr Al-Muta’allihin Mulla Sadra-Semoga Allah mensucikan jiwanya-Dalam buku beliau Syarh Ushul Al-Kafi, Kitab Al-Aql wa Al-Jahl, dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan A’ql ( biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan intelek) adalah sama dengan Nabi Muhammad SAW dalam seluruh martabat keberadaan beliau. Mengapa? Karena, sifat-sifat akal seluruhnya sesuai dengan sifat-sifat Rasul SAW yang agung, yaitu :
- Hadist yang menggambarkan akal berbicara dengan Allah persis juga pada peristiwa mi’raj Nabi, Allah juga mengajak beliau berbicara.
- Hadist yang menggambarkan ketaatan akal pada Allah. Dan ketaatan Nabi SAW kepada Allah adalah jelas dengan sendirinya (baca: tidak diragukan lagi).
- Makhluk yang paling disayang oleh Allah adalah Nabi Muhammad SAW. Bahkan alam ini dicipta hanya untuk Muhammad SAW dan melalui nurul Muhammad. Akal pun demikian, alam ini tak tercipta kecuali melalui akal pertama, kedua, dan seterusnya. Sebagaimana maklum hal ini sejalan dengan dalil-dalil tradisional maupun argumen filosofis.
- Keimanan kepada keberadaan Nabi Muhammad SAW (kenabian) beliau, adalah salah satu sebab kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid bergantung pada kesempurnaan penggunaan akal itu sendiri.
Ayatullah Allamah M.H.Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan, ketika menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 130, menyimpulkan bahwa akallah sesuatu yang dengannya Allah disembah. Dengan kata lain akallah lentera menuju kebenaran.
Muhaqiq Lahiji dalam Syarh Gulsyan-e Raz berkata, ”Akal dan ruh, jiwa rasional dan hati adalah satu hakikat. Namun terjadi berbagai gradasi eksistensial, maka mereka memiliki hukum-hukum dan sifat-sifat yang berbeda dan tingkatannya diperkenalkan dengan nama-nama yang berbeda-beda pula”.
Yang Mulia Guru kami DR.Ir.Dimitri Mahayana M.Eng. Secara tidak langsung memberikan pengertian akal dalam buku Kumpulan Logika yang disusunnya. Beliau berkata; “Akal adalah manifestasi internal keberadaan Nabi Muhammad SAW. Karena bagaimanapun manifestasi mesti mencerminkan perbuatannya. Dengan demikian segala yang muncul dari ucapan, amalan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW pasti rasional (baca : selaras dengan akal). Lebih dari itu, Nabi Muhammad SAW adalah kriteria rasionalitas dan rasionalitas segala sesuatu. Dan Al Qur’an adalah manifestasi paling sempurna hakikat Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Syihabuddin Suhrawardi Al-Maqtul (q.s) berkata : Ketahuilah bahwa yang pertama diciptakan Allah adalah mutiara cemerlang yang dinamai-Nya Akal (‘aql ). Mutiara ini diberikannya tiga sifat. Yaitu kemampuan untuk mengenal Allah, kemampuan untuk mengenal dirinya, dan kemampuan untuk mengetahui apa yang belum ada dan kemudian ada. Dan dari kemampuan mengenal Allah muncullah keindahan. Dari kemampuan mengenal dirinya muncullah cinta. Serta kemampuan mengenal apa yang belum ada kemudian ada timbullah kesedihan. Dan dari ketiganya ini adalah bersumber dari satu realitas.
Gurunya-Guru kami Sayyid Musa Al Khazim-Semoga Allah menjadikan darahku layak untuk menjadi tebusannya-mengatakan bahwa akal dalam banyak ayat Al Qur’an adalah kegiatan yang bermula pada pembuktian logis dan konklusif. Beliaupun melanjutkan bahwa akal memiliki realitas yang berbeda-beda, yang setiap perwujudannya memainkan peran baiknya sendiri-sendiri.
Imam Jafar Ash-Shadiq.(as) mengatakan bahwa, “perbedaan orang berakal dan orang dungu adalah, orang berakal mengucapkan suatu ucapan dengan pertimbangan dan melakukan suatu perbuatan juga dengan pertimbangan. Atau ia berpikir dahulu, lalu berkata dan berbuat. Tetapi orang dungu, ia berbicara atau bertindak tanpa pertimbangan dan tanpa perhitungan lalu menyesali perbuatannya.” (Mengendalikan Naluri, hal-71, Husain Mazhahiri, 2001)
Imam Al-Khazim berkata kepada Hisyam, “Allah telah menganugerahi manusia dengan dua hujjah: satu diantaranya tampak dan satu lagi tersembunyi. Hujjah yang tampak adalah para Nabi dan para Imam, dan hujjah yang tidak tampak adalah akal dan intelenjensi yang ada dalam diri kita.” (Hijrah Menuju Allah, Hal-72, Ibrahim Amini)
Imam Ali Ar-Ridha berkata, “Akal adalah teman bagi semua orang dan musuh akal adalah kejahilan.” (Lihat buku Hijrah Menuju Allah, Hal-72, Ibrahim Amini, Pustaka Hidayah 2001).
Dalam sebuah hadist, Nabi mengibaratkan akal sebagai kerajaan yang memiliki berbagai pasukan. Yang menurut Sayyid Musa Al Khazim selain menggambarkan kebesaran dan signifikan kedudukan akal, ungkapan “kerajaan akal” nampaknya juga menunjukkan besarnya ranah (domain) akal dalam kehidupan manusia. Dalam hadist itu Nabi menyebut kebaikan sebagai Perdana Menteri kerajaan akal. Sedang harapan, hasrat, rasa syukur, belas kasih, kehalusan, ketenangan, kesabaran, kelembutan, cinta, semuanya adalah prajurit-prajurit dalam kerajaan tersebut. Demikian pula tentunya dengan kebenaran, pengetahuan, pemahaman, ingatan, upaya mengingat, keadilan, dan kecerdasan.
Dalam hadist yang lain, Nabi menunjukkan bahwa akal melahirkan pertimbangan, yaitu pertimbangan pengetahuan. Dari pengetahuan tumbuh petunjuk yang benar. Dari petunjuk yang benar muncul pantangan dan kehati-hatian. Dari pantangan timbul pengendalian diri. Dari pengendalian diri timbul rasa malu. Dari rasa malu tercipta ketakutan. Dari ketakutan akan melahirkan amal baik. Dari amal baik bersemi kebencian akan kejahatan. Dan dari kebencian akan kejahatan akan ada kepatuhan pada nasihat yang baik.
Dari beberapa pengertian akal, baik para filosof maupun para Imam. Mereka hanya membicarakan akal berdasarkan pengaruhnya saja. Bahkan dalam Al-Qur’an akal di sebutkan hanya dari segi efek yang ditimbulkan saja. Misalnya dalam QS. Al-Mulk: 67, orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai penghuni neraka. Dalam QS. Yunus : 42, Al Qur’an menempatkan akal sebagai sarana mendengar dan yang tidak berakal sebagai tuli. Dalam QS. Yunus :10, akal diposisikan sebagai syarat keberimanan seseorang dan yang tidak menggunakannya sebagai orang yang dimurkai Allah. Dalam QS. Ar Rum : 24, meletakkan fenomena alam tanda bagi orang yang berakal. Dalam QS. Az-zumar :18, Allah menyatakan orang yang mendapat petunjuk adalah orang-orang yang berakal. Dalam QS. Al-An’aam : 166, Membuktikan bahwa orang yang tidak berakal akan hanya mengikuti hawa nafsu dan persangkaan saja. Dalam QS 8: 22, orang yang tidak berakal dipandangan Allah sebagai binatang buas yang sangat buruk.
Dari beberapa pengertian yang ada, cukuplah kiranya kita mempunyai gambaran yang jelas tentang pentingnya akal dalam hidup ini. Sehingga mengetahui bahwa akallah sebagai penentu kebermanusiaan kita. Sebagaimana Hadist qudsi yang menyebut akal sebagai ciptaan pertama yang sekaligus mengindikasikan bahwa perjalanan manusia untuk menemukan yang dicarinya, semua bergantung seberapa besar penggunaan akal dalam kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar