Mari kita semua berkata tentang kebenaran, agar kita semua bisa sombong dan angkuh berjalan, bukankah itu yang dipertontonkan bagi para tokoh-tokoh skeptis pergerakan yang mereka sendiri telah teralienasi oleh alam realitas. Lambat tapi pasti akan mengarah ke arah dehumanisasi collective.
Bercerita dan bernyanyi tentang pemberontakan dan patriotisme revolusioner untuk kehidupan yang lebih ideal, ideal dalam kacamata ke-egoannya, yang kemudian di tafsirkan sebagai idealisme dan berdiri kokoh diatas istilah itu. Benarkah demikian????
Retorika dan negosiasi mengatas namakan rakyat yang tertindas, sangat menghanyutkan. Seperti sebuah harga mati dan bermimpi menjadikannya pahlawan.
Semua sangat sederhana; retorika tentang rakyat yang tertindas dan berbicara tentang kebenaran yang persetan dari realitas kebenaran itu sendiri. Itulah rumus mereka untuk menjadi seorang pahlawan.
Banyak jebolan-jebolan Bastra (Basic Training) atau intermediate bahkan advance traiining yang baru saja mendapatkan materi-materi tentang filsafat hidup, sosial, keadilan dan bahkan ke-Tuhan-an dan langsung mampu untuk membuat tentang sebuah pengklaiman mengenai realitas kebenaran, tanpa masuk dalam realitas itu sendiri.
Umumnya mereka hanya berhasil dalam satu hal yaitu tentang retorika. Hanya retorika.
Tapi apakah kemudian menjadi berhasil ketika diperhadapkan tentang pertanyaan mengenai simpati dan empati?????? Jawabnnya wallahu ‘alam bishowab. Aksi demo dan turun kejalan mungkin sebuah bentuk simpati terhadap penindasan dialam relaitas sosail kita, tapi utuk turut merasakan dan menjadi bagian dari penderitaan tersebut itu yang mungkin harus kita beri tanda tanya besar.
Itulah empati, merasakan dan menghadirkan penderitaan dari pahitnya penindasan yang dirasakan oleh para kaum marginal, kaum urban, para du’afa dan mustada’fin. Empati lahir pastilah membawa simpati dan menggerakkan semua potensi-potensi yang melekat pada diri untuk segera dijadikan sebagai alat-alat perjaungan dalam membebaskan mereka dari penindasan.
Berhasilkah? Itu bukanpertanyaan dan bukan pertanyaan yang dibutuhkan melainkan sebuah gerak yang humanis dan rasional dalam setiap tindakan yang bertanggung jawab.
Mendengarkan lagu-lagu perjuangan, nyanyian tentang revolusi dan pusi ‘kiri’ tidak memberi nilai tambah dan hanya menjadi sampah jika hanya mendengarkan saja. Banyak yang terperangkap dalam onani semu dan mengklaim diri dalam mimpi indah sebagai pejuang ketertindasan hanya degan cara mengoleksi lagu dan bacaan yang sifatnya waw dan seakan-akan.
Yang merdeka itu pemerintah dan sejahtera itu investor asing yang menguras Sumber daya Alam kita… itulah yang disampaikan Maryam kesaya. Trims,
Bercerita dan bernyanyi tentang pemberontakan dan patriotisme revolusioner untuk kehidupan yang lebih ideal, ideal dalam kacamata ke-egoannya, yang kemudian di tafsirkan sebagai idealisme dan berdiri kokoh diatas istilah itu. Benarkah demikian????
Retorika dan negosiasi mengatas namakan rakyat yang tertindas, sangat menghanyutkan. Seperti sebuah harga mati dan bermimpi menjadikannya pahlawan.
Semua sangat sederhana; retorika tentang rakyat yang tertindas dan berbicara tentang kebenaran yang persetan dari realitas kebenaran itu sendiri. Itulah rumus mereka untuk menjadi seorang pahlawan.
Banyak jebolan-jebolan Bastra (Basic Training) atau intermediate bahkan advance traiining yang baru saja mendapatkan materi-materi tentang filsafat hidup, sosial, keadilan dan bahkan ke-Tuhan-an dan langsung mampu untuk membuat tentang sebuah pengklaiman mengenai realitas kebenaran, tanpa masuk dalam realitas itu sendiri.
Umumnya mereka hanya berhasil dalam satu hal yaitu tentang retorika. Hanya retorika.
Tapi apakah kemudian menjadi berhasil ketika diperhadapkan tentang pertanyaan mengenai simpati dan empati?????? Jawabnnya wallahu ‘alam bishowab. Aksi demo dan turun kejalan mungkin sebuah bentuk simpati terhadap penindasan dialam relaitas sosail kita, tapi utuk turut merasakan dan menjadi bagian dari penderitaan tersebut itu yang mungkin harus kita beri tanda tanya besar.
Itulah empati, merasakan dan menghadirkan penderitaan dari pahitnya penindasan yang dirasakan oleh para kaum marginal, kaum urban, para du’afa dan mustada’fin. Empati lahir pastilah membawa simpati dan menggerakkan semua potensi-potensi yang melekat pada diri untuk segera dijadikan sebagai alat-alat perjaungan dalam membebaskan mereka dari penindasan.
Berhasilkah? Itu bukanpertanyaan dan bukan pertanyaan yang dibutuhkan melainkan sebuah gerak yang humanis dan rasional dalam setiap tindakan yang bertanggung jawab.
Mendengarkan lagu-lagu perjuangan, nyanyian tentang revolusi dan pusi ‘kiri’ tidak memberi nilai tambah dan hanya menjadi sampah jika hanya mendengarkan saja. Banyak yang terperangkap dalam onani semu dan mengklaim diri dalam mimpi indah sebagai pejuang ketertindasan hanya degan cara mengoleksi lagu dan bacaan yang sifatnya waw dan seakan-akan.
Yang merdeka itu pemerintah dan sejahtera itu investor asing yang menguras Sumber daya Alam kita… itulah yang disampaikan Maryam kesaya. Trims,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar