sumber: maqbulhalim.blogs.friendster.com
Saya sudah menyaksikan berbagai baligo, spanduk dan poster yang menjajakan wajah orang-orang yang yakin dapat terpilih menjadi walikota atau wakil walikota. Semuanya beragam, tergantung dari seragam yang mereka gunakan, atau panorama yang melatari gambar/foto mereka. Ada tiga dari mereka yang menurutku adalah sahabatku: Adil Patu, Ilham Arief Sirajuddin, dan Zulkifli Gani Ottoh. Selebihnya adalah teman saya juga seperti Jaffar Sodding, Abraham Samad, dan Busra Abdullah.
Ilham adalah ketua DPD Partai Golkar Kota Makassar. Sebelum ia terpilih sebagai walikota Makassar melalui Perlemen tahun 2004, ia adalah calon anggota terpilih DPRD Kota Makassar melalui Pemilu Legislatif 2004 dari Daerah Pemilihan (DP) III: Kec. Panakkukang dan Kec. Manggala. Ketika itu, ia juga sudah menjabat sebagai ketua DPD Partai Golkar Kota Makassar. Pada Pemilu 1999, Ilham juga terpilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di perlemen propinsi Sulsel untuk tahun 1999-2004. Ketika ia menjadi legislator itu juga, saya sempat bertemu beberapa kali di kantor tabloid berita tempatku bekerja sebagai wartawan.
Zulkifli Gani Ottoh adalah kolega saya di KPU Kota Makassar. Sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai ketua. Ia menyandang jabatan di berbagai organisasi. Tahun 2007, ia terpilih sebagai ketua PWI Sulsel. Ia juga menjadi komisaris pada berbagai perusahaan yang tergabung dalam korporasi bisnis FAJAR Grup. Saya mengenal Pak Ottoh kira-kira sembilan tahun silam, yakni sekitar tahun 1999. Waktu itu, ia bersama koleganya di Harian FAJAR menjadi seteru Nurdin Halid, pemilik tabloid berita tempat saya bekerja sebagai wartawan.
Ada lagi sahabatnya yang bernama Adil Patu. Saya belum terlalu lama mengenalnya. Saya baru mengenal dia kira-kira tujuh tahun silam. Itu pun karena ia akrab dengan Pak Darwis (dosen dan senior saya di Fisip dan Identitas Unhas), dan juga dengan kawan-kawan saya seperti Syamsu Rizal MI dan Kahar Gani. Pada awalnya, saya lebih banyak mengenalnya sebagai kader Golkar yang dikarbit-orbit oleh Marwah Daud Ibrahim. Saya akhirnya banyak berinteraksi dengannya ketika saya di Elsim Makassar sebagai peneliti media.
Setelah terpilih sebagai anggota KPU Kota Makassar periode 2003-2008, saya pun semakin banyak berinteraksi dengan mereka. Ketika Pemilu Legislatif 2004 sedang menderu, Adil Patu merasa kurang beruntung. Berbagai analisis hasil Pemilu tidak menyebut politisi yang satu ini berhasil mendapatkan kursi di perlemen Sulsel. Demikian juga hasil penghitungan sementara yang lansir oleh harian FAJAR, Pedoman Rakyat dan Tribun Timur, politisi yang hengkang dari Golkar Sulsel pada 2002 ini juga tidak dinominasikan sebagai calon anggota legislatif DPRD Sulsel dari Partai PDK yang bakal mendapatkan kursi.
Di sinilah, Adil Patu mampu mendesain teka-teki yang kian hari, kian sulit dijawab. Saya sendiri waktu itu (April 2004) sebagai anggota KPU Kota Makassar juga terperangkap kebingungan. Adil Patu memperoleh kursi di DPRD Sulsel dari Partai PDK untuk Daerah Pemilihan Sulsel I: Kota Makassar. Ia meruntuhkan dan merobohkan prediksi media dan analis. Ia, kira-kira, berdiri tegap bagai kesatria menunggu penantang sambil berkata: "Bukan hanya Golkar yang bisa memberiku kursi, diriku juga mampu." Saya sendiri tidak menemukan manfaat ketika hendak mencari tahu, penyebab apa gerangan sehingga Adil Patu memperoleh kursi di DPRD Sulsel untuk periode 2004-2009.
Beberapa pihak menduga bahwa kursi itu diperoleh Adil itu adalah berkat keterlibatannya dalam koalisi yang diberi nama "LINTAS PARPOL". Suatu koalisi yang setidaknya menghimpun beberapa partai politik peserta Pemilu Legislatif 2004 Kota Makassar seperti PSI, Partai Demokrat, PAN, PDI Perjuangan, PNBK, PDS, dan seterunya. Koalisi ini sendiri digagas oleh Reza Ali, Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Belakangan setelah koalisi itu terbentuk, bergabung pula Adil dengan menggandeng Partai PDK-nya. Meski Adil adalah tamu yang baru saja memasuki "ruang koalisi", ia mampu meyakinkan penghuni lama untuk mempercayainya sebagai koordinator Lintas Parpol. Praktis setelah itu, ia menjadi satu-satunya orang yang memegang setir kendali Lintas Parpol, sekaligus membatasi akses Reza Ali dalam koalisi. Akhirnya, koalisi yang dibentuk oleh Reza Ali ini hampir menjadi milik Adil Patu.
Mereka, partai-partai dalam koalisi itu, menyeruduk kantor PPK Kec. Manggala dan membawa kabur beberapa barang inventaris kantor kecamatan. Beberapa orang, seperti petugas PPK di kantor kecamatan, melihat Adil Patu bersama massa Lintas Parpol yang menggerubuti kantor kecamatan ketika itu. Ia bersama massa koalisi juga sempat menyandera masyarakat dan anggota PPS Kelurahan Pai Kecamatan Bringkanaya yang tengah merekap hasi penghitungan suara TPS-TPS. Adil dan massa koalisinya melakukan penyanderaan itu di kantor Kelurahan Pai selama sekitar dua jam. Demikian pula ketika itu, Adil dan massa Lintas Parpol-nya juga sempat menduduki kantor KPU Kota Makassar. Di selama "pendudukan" itu, Adil memimpin penghitungan ulang beberapa kota suara tanpa memperdulikan mekanisme yang ada dalam UU Pemilu No. 12 Tahun 2003. Saya menamai kegiatan itu dengan istilah "MENGHITUNG SENAK UDELNYA". Selama dua hari itu, kantor KPU Kota Makassar menjadi lebih semraut dari pasar tradisional yang tidak terurus dan terawat. Saya belum mengerti sampai sekarang, pihak mana yang memberi mereka peluang untuk melakukan penghitungan ulang itu? Dan, apa pula yang melatari sehingga Ketua KPU Kota Makassar, Zulkifli Gani Ottoh; Koordinator Lintas Parpol, Adil Patu; dan Ketua Panwas Kota Makassar, Ma'ruf Hafidz, berangkat ke Jakarta untuk mengkonsultasikan berbagai hal yang dipermasalahkan oleh froum Lintas Parpol ini.
Berdasarkan analisis Litbang media-media cetak lokal sebelum rapat pleno penetapan suara oleh KPU Kota Makassar dan KPU Propinsi Sulsel, saya dapat mengatakan bahwa Partai PDK Propinsi Sulsel dan Partai PDK Kota Makassar mendapatkan masing-masing satu kursi setelah berbagai kegiatan Forum Lintas Parpol itu. Sebaliknya, hasil yang dicapai forum Lintas Parpol yang dikoordinir oleh Adil ini justru mengecewakan Reza Ali. Pasalnya, kata Nuryanto G. Liwang (sekretaris Partai Demokrat Kota Makassar) setahun setelah Pemilu 2004, Forum Lintas Parpol ini digagas oleh Reza Ali bersama beberapa parpol lain untuk mempertahankan satu kursi DPRD Kota Makassar dari DP III (Kecamatan Panakkukang dan Manggala) yang bakal diperoleh Partai Demokrat. Beberapa bulan setelah penetapan kursi untuk DPRD Kota Makassar oleh KPU Kota Makassar, Reza Ali baru mengetahui bahwa forum Lintas Parpol ternyata tidak memperhatikan satu kursi yang terancam lepas dari Partai Demokrat tersebut. Akhirnya, Partai Demokrat Kota Makassar kehilangan satu kursi DPRD Kota Makassar itu, dan beralih ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP tidak bergabung dengan koalisi Lintas Parpol.
Akhirnya, Adil Patu dilantik sebagai anggota DPRD Sulsel 2004-2009. Ia kembali mendapatkan status "terhormat" sebagai wakil rakyat Sulawesi Selatan, mewakili rakyat di Kota Makassar yang sebagian sangat kecil memilih Partai PDK. Panggung yang disebut kantor DPRD Sulsel itu, kembali hadir di hadapan Adil Patu. Jurus-jurus legislator Adil kembali terhunus dan siap mengayun-tebas pada argumen-argumen pejabat ekskutif Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan. Ia bukan lagi Golkar di panggung itu. Ia adalah "Golkar Putih".
Saya juga punya kesan tentang Adil Patu yang sangat berarti untuk memahami politisi yang satu ini di tahun-tahun berikutnya. Momen itu adalah program Temu Konstituen yang dijalankan oleh CETRO di Makassar pada 2001. Saya sendiri terlibat sebagai sekretaris program. Waktu itu, CETRO bermitra dengan Polling Center (lembaga yang dibentuk H.M. Darwis, MA, DPS) untuk melaksanakan beberapa kegiatan rangkaian. Salah satunya rangkaian kegiatan adalah Perbincangan Radio (Talk) di Mercurius FM. Saya lupa dengan dipanel dengan siapa Adil Patu waktu. Pada prinsipnya, Adil Patu berusaha meyakinkan publik bahwa masyarakat, termasuk masyarakat Sulawesi Selatan, belum siap untuk memilih langsung kepala daerahnya. Pernyataan itu juga masih diulang ketika ia berbicara di Delta FM dan Independen FM. Banyak alasan yang dikemukakan untuk menguatkan pernyataannya. Saya menilai waktu itu, ia tidak mempercayai rakyat Sulsel bahwa mereka bisa dewasa menentukan pilihannya.
LIMA bulan bekalangan ini, Adil Patu kian gencar mengumumkan dirinya sebagai calon Walikota Makassar untuk periode 2009-2014. Hasratnya menyerupai badai: bergetar, tapi tetap pelan. Ia menggebrak tapi tak menabrak. Saya salut, lalu kemudian bangga. Ia nyata bergerak tetapi tetap rumit dipahami: ke arah mana, dengan cara apa, dan mampukah ia berjalan? Apa pun yang terjadi, Adil Patu telah mampu menyapa, dan juga tersenyum, dalam diam dan kaku di setiap sudut jalan dan lorong-lorong gelap di kota Makassar. Di gambar dan foto itu, Adil Patu tidak pernah marah, cemberut, atau terlihat sinis. Ia ramah, penuh sahabat, rapi-necis, dan ada keyakinan yang kuat dari pancaran matanya.
Ia juga sempat melepaskan beberapa tetes "air gula" kepada teman sejawatku, Zulkifli Gani Ottoh. Kepada Ottoh, Adil berkomitmen di akhir 2007 untuk menjadikannya sebagai wakilnya pada Pemilu Pilkada Walikota Makassar tahun 2008 ini. Belakangan saya memahami bahwa komitmen itu sangat rapuh, mengambang seperti serat kapas yang terburai di angkasa. Meski seperti itu adanya, Adil mampu memberi keyakinan kuat sehingga Ottoh tidak mampu meragukan segala-galanya dari Adil. Awal Februari lalu, Nurmal Idrus (wartawan Berita Kota Makassar) mengaku kepada saya bahwa paket pasangan Adil - Ottoh adalah cerita yang tidak akan pernah ada. Nurmal mengagumi firasatku setelah mengambil kesimpulan seperti itu.
Ia juga kian rajin menyusup ke rumah-rumah penduduk miskin di kota Makassar. Ia tidak perduli larut malam atau siang bolong. Beberapa bulan yang lalu, mungkin sekitar empat bulan, ia tidak seperti itu. Ia biasa-biasa saja terhadap siapa pun. Ia hanya seorang mantan guru yang bisa akrab dengan tokoh-tokoh elit dan feodal. Dulu, sejak 2004, hidupnya tidak pernah tersandra oleh derita miskin yang dialami oleh penduduk kota Makassar yang kurang beruntung. Sebelum mengutarakan niatnya menjadi calon walikota di akhir 2007 lalu, ia hanya minta restu dari mantan calon gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo. Bukan kepada orang miskin atau warga kota Makassar ia meminta restu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar