TAKLID BUTA

Seseorang dapat dikatakan bertaklid buta, jika seseorang mengikuti sesuatu tidak disertai dengan kesadaran. Termasuk ketidaksadaran akan hal-hal apa saja yang harus ditaklidi, mengapa dan untuk apa ia harus bertaklid, serta kepada siapa ia harus bertaklid. Orang-orang seperti ini hanya mengikuti persangkaan saja. Dalam Al Qur’an sifat seperti ini sangat dikecam, seperti dalam ayat :

“Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. 17: 36 ).

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. 6: 166 ).

Sifat seperti ini sangat menghambat perjalanan. Karena bisa jadi ketidak tahuan kita akan sesuatu yang diikuti, dan kepada siapa kita mengikuti membuat kita tidak sadar bahwa selama ini kita telah membuat kesalahan. Dalam logika, kesalahan seperti ini disebut kesalahan berganda oleh karena pertama, kita salah karena telah melakukan kesalahan. Kedua, kita salah karena kita tidak menyadari bahwa diri kita salah. Dan asal kita tahu saja hal seperti ini terjadi di dunia Islam.
Masih segar dipikiran kita, dimana para ulama pada abad ke-7 H, telah menutup pintu ijtihad, dengan asumsi bahwa cukuplah kita bertaklid pada keempat Imam mazhab saja. Yaitu, Imam Hanafi (Abu Hanifah, 80-150 H ), Imam Maliki (Malik Bin Anas, 95-179 H ), Imam Syafi’i (150-204 H ), Imam Hambali (Ahmad Bin Hambal, 164-241) dan ini khusus berkenaan dengan fiqih. Adapun mengenai masalah ushul (teologi) cukup kepada Al Asy’ari. Dan lebih anehnya, jika ditemukan seorang yang mampu memberikan fatwa masalah agama, itu pun haruslah tidak bertentangan dengan pandangan keempat Imam mazhab tersebut. Mungkin inilah yang dikatakan kakek saya kepada ayah saya dan ayah saya menceritakan kepada saya bahwa tidak ada lagi orang yang pintar sepeninggal Imam Syafi’i. Anda bisa bayangkan betapa mengakarnya sebuah taklid buta dikalangan masyarakat atau pada umumnya orang tua kita.
Saya hanya ingin kita menyadari atau memikirkan ulang konsep ketaklidan kita kepada keempat Imam mazhab tersebut, tanpa mengurangi rasa hormat saya dan kekaguman saya kepada mereka. Karena sekiranya kita hanya diperbolehkan taklid hanya pada keempat Imam mazhab tersebut. Di sisi lain mereka hidup pada abad 2 dan 3 H, pertanyaan saya, sebelum mereka hidup kemana umat Islam bertaklid ? dan bagaimana mungkin kita bisa bertaklid kepada seorang yang telah meninggal sebelum kita lahir. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika sekiranya kita menghadapi persoalan fiqih yang pada zaman mereka itu belum ada. Kemana kita hendak bertanya. Meminjam perkataan Buya Hamka: “Sampai hari kiamat pintu ijtihad tidak tertutup”. Sebab soal yang akan dibahas selalu saja timbul dalam masyarakat yang selalu bergerak. Kita harus berani meninjau pendapat ulama yang dahulu. Sudah terang bahwa soal-soal masyarakat yang kita hadapi tidak sama dengan yang mereka hadapi” (Lihat buku Pribadi, Hamka 1950, hal-123)
Lebih mustahil lagi jika kita semua telah menjadi mujtahid (orang yang berhak menentukan hukum untuk dirinya sendiri). Karena syarat seorang mujtahid, jika saya sebutkan maka tidak ada satu pun di Indonesia yang memenuhi syarat tersebut. Apalagi seorang Marja (orang yang berhak menentukan hukum untuk dirinya dan orang lain) yang tentunya lebih sulit lagi.
Contoh yang nyata, apa yang baru saja umat Islam alami. Ketika lagi ramai-ramainya isu jihad ke Afganistan. Tak seorang pun dikalangan ulama kita, ketika ia mengeluarkan fatwa untuk jihad, sehingga dengan serta merta umat Islam mengikuti fatwa itu. Yang haram hukumnya jika kita tidak mengikutinya. Belum lagi masalah fatwa MUI tentang haramnya Ajinomoto, yang menjadi mentah begitu saja dengan sanggahan Gus Dur. Kalau memang kita bertaklid dengan MUI maka ketika mereka mengatakan Ajinomoto haram, kita harus mengikutinya. Dan tidak ada lagi protes protesan, tidak ada lagi cros cek. Karena kita telah bertaklid pada MUI. Dan jika kita telah bertaklid maka secara otomatis kita telah mengakui kapasitas MUI untuk penentuan hukum. Tetapi pada waktu itu, kenapa kita masih ragu ?. Sehingga saat itu saya berfikir bahwa Gus Dur sengaja membantah MUI, agar kita sadar bahwa MUI tidak layak ditaklidi. Tidak ada satupun di Islam sistem kemarjaan secara kolektif seperti MUI, yang tak satupun anggotanya seorang mujtahid. Sungguh sebuah konsep yang sangat rancu.
Saya pribadi mau sekali bertaklid, tetapi taklid saya hanya kepada orang-orang yang layak ditaklidi (marja). Dan saya sadar bahwa orang itu layak ditaklidi. Dan terbukti layak ditaklidi. Dan harus ada pengakuan minimal dari dua orang yang layak ditaklidi, yang mengakui bahwa orang tersebut layak ditaklidi. Maksud saya, yang menilai bahwa orang tersebut layak ditaklidi (seorang marja) haruslah minimal dua orang marja yang telah mengakui kemarjaiannya. Atau seorang Nabi atau seorang yang maksum (tidak bisa salah). Dan kita sadar akan kapasitas mereka. Hal ini dikarenakan bahwa tidak layak jika yang menilai seorang marja dan menentukan bahwa dia marja sehingga dia dapat dikatakan seorang marja adalah kita-kita ini yang awam, yang justru malah mau bertaklid sama mereka. Karena jika kita yang menentukan bahwa dialah seorang marja sehingga ia dapat dikatakan marja, berarti kita juga adalah seorang marja. Dan karena kita marja kita tidak usah bertaklid.
Sungguh menyedihkan bagi saya ketika kita tidak mengetahui konsep taklid yang benar. Dan hal-hal apa saja yang dapat ditaklidi. Karena tidak jarang diantara kita, biar masalah Ushuluddin atau rukun iman yang sebenarnya tidak bisa taklid, kita tetap saja merujuk pada pendapat Al Asy’ari. Padahal masalah keimanan semua orang masing-masing mesti punya dalil kenapa ia harus beriman. Olehnya itu masalah Ushuluddin harus menjadi perdebatan. Tetapi yang terjadi dalam masyarakat kita, justru masalah fiqih yang menjadi perdebatan. Dan saling menyalahkan yang bersamaan dengan pengklaiman bahwa hanya fiqihnyalah yang benar. Nampaknya di masyarakat kita terlalu banyak mujtahid. Sehingga bisa menentukan benar salahnya suatu hukum.

1 komentar:

  1. Mari kita tes!

    1. Kalau lihat ada yang kritis terhadap partai, maka dikatakan sebagai kader tidak tsiqoh dan tidak taat

    2. Kalau ada berita apapun yang tidak enak langsung disebut fitnah

    3. Lalu kalau ternyata benar, disebut ghibah, kemudian dilabeli membongkar aib

    4. Setelah itu, kalau ia masih terus gencar bertanya, maka ia disebut sebagai kader yang hasad dan barisan sakit hati karena tdk diberi jabatan

    5. Kalau masih bertanya juga, maka kita menyebutkan bahwa jamaah ini bukan jamaah malaikat tapi jamaah manusia. Lalu memaklumi kemaksiatan/penyimpangan yang terjadi dalam tubuh jamaah.

    6. Kalau dia masih mengkritik lagi, maka akan ditanyakan kepada sang pengkritik SUDAH HAFAL BERAPA JUZ? SUDAH BERAMAL APA DIBANDINGKAN JAMAAH KAMI? SIAPA SIH KAMU DIBANDINGKAN PETINGGI-PETINGGI KAMI YANG LULUSAN UNIV ISLAM TERKEMUKA?

    7. Kalau masih mengkritik habis-habisan, maka akan menyerang pribadi sang pengkritik, bukan membantah argumen yg dijadikan bahan kritikan..

    8. Jika sudah tidak ada alasan untuk berkilah, maka berbagai peristiwa yang dikritik, dianggap sebagai jebakan atau konspirasi untuk menghancurkan jamaah.

    Jika anda seperti itu, apapun yang ingin anda katakan, saya katakan kepada anda, bahwa anda adalah orang yang TAKLID BUTA..

    BalasHapus

[Informasi Tracking Satelit Aqua (Modis) Secara Real Time]