__[Pendapatku tentang kontroversi pawai budaya ANBTI di Makassar]__
Salah satu paket kegiatan dari Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regional Sulawesi Maluku beberapa waktu silam adalah pawai budaya. Dalam keseluruhan kegiatan tersebut, saya berposisi sebagai notulensi sehingga “hampir-hampir” tidak ada satupun paket kegiatan yang terlepas dari pengamatan saya. Berdasarkan itulah saya merasa perlu angkat bicara walaupun dalam bentuk tulisan di blog peribadi mengenai kontroversi bahkan tuduhan-tuduhan yang diarahkan ke Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) dalam kaitannya dengan kegiatan konsolidasi yang berlangsung di Makassar.
Sebelumnya saya minta maaf kepada teman-teman dan senior-senior pendahulu ANBTI, saya tidak bermaksud “sok tahu” tapi saya hanya mau menjawab keresahan pribadi berdasarkan batasan pengetahuan saya yang berangkat dari pengamatan saya terhadap kegiatan konsolidasi regional Sulawesi Maluku. Ini hanyalah sebuah pandangan saya terhadap ANBTI terhadap tuduhan yang dilontarkan oleh mereka-mereka yang … (maaf) saya juga bingung siapa mereka sebenarnya… sebuah forum yang lahir secara aksidentil kemudian hilang bagai ditelan bumi.
Tuduhan sebagai “Kendaraan Politik” capres tertentu
Hal ini sangatlah naïf, berdasarkan hasil pengamatan saya ANBTI adalah sebuah aliansi atau forum yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi swadaya masyarakat ataupun NGO yang tersebar di seluruh Indonesia dan di deklarasikan di Surabaya. Sebuah aliansi bukanlah sebuah Partai Politik, dan bukan organisasi turunan dari partai politik. Kendaraan Politik untuk Negara kita yang dikenal adalah Partai Politik (Parpol) dan untuk mendukung kinerja-kinerjanya serta visi misinya partai politik melahirkan organisasi turunan, misalnya Partai Golkar memiliki organisasi AMPG dan Kosgoro, di PDI-P ada Banteng Muda Indonesia, begitupun di partai-partai lainnya. Dalam hal ini saya tidak menemukan dalam organ yang bergabung di ANBTI memiliki hubungan langsung dengan sebuah partai politik, bahkan beberapa organ yang saya kenal betul selalu menjadi antithesis dalam setiap kebijakan politik yang dikeluarkan oleh parpol tergabung dalam organisasi ANBTI.
Mengenai adanya tuduhan mengenai beberapa individu dari Steering Committee atau Organizing Committee yang memiliki pandangan politik dan akhirnya dengan kesadaran politik tersebut terlibat dalam aktivitas politik praktis, menurut saya adalah hal yang wajar dan sangat manusiawi. Pandangan politik yang melahirkan sikap politik dalam kegiatan politik praktis bagi seorang Individu menurut saya merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus mendapat tempat dalam bingkai toleransi. Bukankah kita semua sering “ngaku-ngaku” sebagai pejuang HAM??!! Di negara kita sendiri memberikan kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat pada masyarakatnya.
Mengenai mereka masih ada di tubuh ANBTI, itu (menurut saya) adalah hak dasar mereka dan hak prerogative AD/ART ataupun statuta dari organisasi selama tidak memberikan opini pubik bahwa keberadaan ‘dia’ di tubuh ANBTI “sama dengan” ANBTI mengikuti pandangan dan sikap politiknya. Tidak logis tuduhan keberadaan individu yang terlibat di politik praktis menjadikan ANBTI adalah kendaraan politik (menurut akal sehat saya). Dimana ANBTI tidak didirikan/deklarasikan oleh individu-individu tapi melainkan organisasi-organisasi.
Dalam Kegiatan Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regional Sulawesi dan Maluku yang dilaksanakan di Makassar, menurut saya “SEHARUSNYA”-LAH kita mampu menunjukkan jati diri kita sebagai tuan rumah yang santun dan (maaf) berakal sehat. Istilah berakal sehat ini saya berangkat dari buku “Rekayasa Sosial” karangan Jalaluddin Rahmat. Penuhi variabel-variabel dalam tulisan tersebut sehingga kita bisa sehat dalam berakal dan merdeka dalam berfikir. Fu**ing Intervention!!!.
Tuduhan untuk menyusun agenda politik capres
Saya sangat sepakat dan sangat mendukung 150% kalau keresahan masyarakat adat yang terungkap dalam kegiatan Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika dijadikan sebagai agenda politik capres. Bahkan menurut saya, seluruh capres-capres yang ada harus, wajib, mutlak, dan komit untuk memperhatikan keresahan mereka dan berjuang mengeluarkan mereka dari persoalan yang mereka hadapi di kampung-kampung dan desa-desa mereka.
Coba simak ungkapan yang terungkap dari salah seorang tokoh dari Maluku Utara:
“…Menanggapi soal kenakalan remaja yang berdampak pada etnis dan agama, bukan hanya terjadi di Maluku utara. Untuk konteks di Maluku utara, kenakalan remaja yang terjadi di tingkat sekolah atau perguruan tinggi berdampak pada etnis…”
Terungkap bahwa kenakalan remaja telah menjalar pada isu etnis, dan hal ini juga yang sering kita rasakan di kampus-kampus kita di Makassar. Kenakalan remaja harus diselesaikan!!! Oleh siapa pun juga, apa lagi presiden. Apa yang salah kalau persoalan yang tersingkap ke permukaan di jadikan sebagai agenda oleh mereka yang ge-er atau merasa mampu untuk menjadi presiden ??? saya khawatir dan resah kalau para aktivis progresif ataupun yang merasa aktivis tampil sombong dan angkuh sehingga merasa “hanya dia-lah” yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Pertanyaan lain: Masyarakat SIAPA?
Saya lebih sepakat dengan asumsi “The Right Gun in the Right Hand”… berdasarkan kompetensi kita masing-masing berjuang dan bekerja berdasarkan kapasitas kita untuk mencapai kesejahteraan manusiawi yang hakiki. Saya masih yakin bahwa kita semua masih memiliki Fikiran yang Merdeka dan tidak mungkin di-“beli” murah untuk digadaikan ke arah kepentingan penguasa.
Tuduhan memanfaatkan ke-polos-an masyarakat
Ini yang lebih aneh lagi menurut saya. Beberapa aktivis masih menganggap bahwa masyarakat dampingannya adalah masyarakat yang “polos”. Bagi saya masyarakat kita adalah masyarakat yang cerdas dan memiliki environmental skill. Mereka hanya tidak mampu keluar dari cengkraman hegemoni dan dominasi Negara yang birokratis menciptakan kebijakan-kebijakan tidak berpihak kepada masyarakat tapi kepada pemilik modal.
Seharusnya (menurut saya) tugas kita adalah mencerahkan dan memerdekakan mereka dalam kerja-kerja pemberdayaan sehingga mampu melahirkan sebuah perlawanan dalam bentuk social movement dari penjajahan dominasi dan hegemoni penguasa.
Memandang bahwa mereka polos adalah sebuah “ketidak adilan” sehingga melahirkan stigma buruk dalam diri masyarakat sendiri. Biarkanlah masyarakat merdeka dalam menafsirkan aktifitas ANBTI, mereka adalah figure yang bijaksana dan memiliki basic knowledge untuk menilai sebuah kegiatan yang berorientasi pada mereka. Bukan Kita… Bukan Aktivis Prodem (insya Allah). Fungsi kita hanyalah menunjukkan rule atau koridor kebenaran, dan mereka sendirilah yang akan berjalan di atas koridor kebenaran tersebut. Kita tidak punya hak untuk membuat sebuah pengklaiman, karena hal itu hanyalah menciptakan ketersinggungan dalam diri masyarakat. “KECUALI” kita merasa bahwa masyarakat dampingan kita dirampas (hahahaha lucu… menurut saya), sehingga setiap aktifitas mereka harus tabe’ dan pamit ke organ yang mendampingi dulu maka apa bedanya kita dengan penguasa yang otoriter mengatur dan menentukan sikap mereka.
ANBTI adalah sebuah kendaraan perjuangan untuk menciptakan pengakuan dan penghargaan terhadap kebhinnekaan. Kemudian, apakah ANBTI masih komitmen pada jalur perjuangannya? Biarkan masyarakat yang menilai. Secara statistikpun kita sudah tertolak untuk menjadi wakil masyarakat dalam menilai ANBTI masih komitmen atau tidak, maka biarkanlah masyarakat sendiri yang menilai. Jika kita memang orang yang lurus, dan masih dalam kategori tercerahkan dan menilai ada yang salah di tubuh ANBTI, maka (saran saya) bergabunglah dalam ANBTI dan singkirkan semua yang salah di tubuh ANBTI dengan cara-cara yang santun dan bijaksana.
Saya yakin dan terus berharap bahwa akan ada masa dimana ANBTI tidak diperlukan lagi oleh masyarakat dan ANBTI akan bubar dengan sendirinya. Masa itu adalah masa dimana Keberagaman telah bangkit dan mendapat tempat yang proporsional serta berhasil menyingkirkan hantu-hantu keseragaman.
Apakah dalam kontroversi yang terjadi, saya ada di ANBTI
Dalam beberapa kali dialog dan berdebat dengan teman-teman di Makassar, saya selalu dikatakan “lebih berat” ke ANBTI. Melalui blog pribadi saya ini saya katakan bahwa saya bukan (atau mungkin saja belum) menjadi anggota ANBTI. Tapi satu hal yang tidak dapat saya pungkiri dalam nurani yang lemah ini bahwa saya terlahir 27 tahun silam dengan membawa visi yang mirip dengan visi ANBTI melalui tali plasenta di rahim ibu saya. Dalam kandungan, ayah saya harus berhadapan dengan moncong senapan hanya lantaran “asrama butonnya” harus di ambil alih oleh aparat militer. Sebuah bentuk perjuangan untuk mengatakan bahwa “mahasiswa asal buton” juga punya hak untuk tinggal di kota daeng.
Jadi sekali lagi, saya akan terus resah jika visi ANBTI yang oleh SC dan OC-nya menafsirkan dalam bentuk agenda kerja ditafsirkan sepihak oleh komunitas atau forum tertentu (apalagi kalau forum tersebut seperti hantu yang tidak jelas dan abstrak). Saya adalah saya, yang mencoba untuk merdeka dalam berfikir dan meninju langit sambil teriak FUCKING INTERVENTION dan biarkan saya bebas berfikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar