Kalau tulisan Dedy Hermansyah di Harian FAJAR / Rabu, 28 Mei 2008 tidak hendak membahas rasionalisasi kenaikan harga BBM tapi bermaksud menggugat sikap diamnya kaum intelektual seiring lahirnya kebijakan kenaikan harga BBM, maka tulisan ini bermaksud membahas alternatif dari solusi lain menaikkan harga BBM dan kaji ulang tuntutan gerakan kaum intelektual pasca kenaikan harga BBM. Dalam tulisan ini, saya sangat berharap adanya sebuah pengkajian seimbang antara rasionalisasi kenaikan harga BBM dan jeritan nurani masyarakat yang diantarkan oleh mahasiswa dan aktifis lainnya di jalanan.
Pemerintah kita kini berupaya untuk melawan gerakan moral mahasiswa dan masyarakat yang sadar dan tercerahkan dengan dua cara klasik (kuno) di era orde baru yaitu 1. Menggunakan kekuatan militer yang represif dan 2. Menghegemoni pemahaman masyarakat. Selain kedua cara tersebut, pemerintah juga melakukan ’penyogokan’ kepada masyarakat miskin dengan program BLT-nya. Sepertinya pemerintah saat ini paham betul bahwa dengan kondisi yang terlanjur melarat sekarang ini rakyat miskin pasti mau saja menerima uang tunai sebagaimana layaknya anak kecil yang akan diam dari tangisannya ketika diberi permen.
Hegemoni yang saya maksudkan diatas adalah upaya pemerintah dan para pembantunya yang berstatus menteri negara berusaha untuk menggiring opini masyarakat agar memahami kondisi keuangan negara kita yang diatur dalam APBN bahwa kondisi kas negara tidak mampu lagi menanggung subsidi BBM yang dilakukan selama ini.
PATOKAN HARGA BBM
Berbicara mengenai kenaikan harga BBM, maka kita harus mengkajinya lebih dulu dari pola peneteapan harga BBM yang digunakan oleh pemerintah. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2005, penetapan harga pada Mean of Platts Singapore (MOPS) telah dijadikan patokan harga BBM di Indonesia berikut besaran subsidi yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Penentuan nilai subsidi tersebut berdasarkan selisih harga patokan per liter jenis BBBM tertentu diturunkan dari rumus : Subsidi = MOPS + a – harga jual/liter, dimana: a (alpha) adalah margin dan fee distribusi sebesar 14,1%. Berdasarkan formulasi dan data tersebutlah PT. Pertamina menentukan nilai subsidi BBM setiap bulan ke Dirjen Migas yang kemudian di tagihkan ke Departemen Keuangan.
Disadari atau tidak, tapi disinilah kelemahan utama dari pengelolaan harga BBM kita dimulai. Mempercayakan MOPS sebagai variable utama dalam penentuan subsidi BBM sangatlah beresiko dan berpotensi memberikan beban dan kerugian bagi negara dimana peningkatan pertumbuhan ekonomi utamanya dibidang industri berpengaruh positif terhadap peningkatan permintaan akan BBM yang menjadi penyaing utama penggunaan stock BBM bersubsidi.
Dari penelitian Argus Media Singapore terhadap penilaian harga MOPS akan selalu terjadi kenaikan harga apabila PT Pertamina akan melakukan pembelian minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Hal ini sangat wajar dan lumrah, sebab dalam mekanisme pasar bebas dimana para supplier akan sangat aktif dalam melakukan bidding untuk menaikkan harga transaksi.
Patokan harga keekonomian BBM yang berdasarkan penilaian harga MOPS akan membuat oknum tertentu bekerjasama untuk berperan aktif dalam menaikkan penilaian harga MOPS yang dianggap sebuah kewajaran dalam mekanisme pasar bebas dan PT. Pertamina tidak berdaya dan hanya bisa pasrah dalam menghadapi kondisi tersebut. Energi Riset dan Manajemen Indonesia (ERMI) ditahun 2007 setelah melakukan pengkajian perbandingan antara MOPS dengan Argus Media, menemukan untuk kasus minyak tanah (kerosene), tercatat pergerakan harga yang cukup tajam sebesar 66%. Bila dihitung dalam besar harga maka tercatat perbedan USD 0,5-1 per barrel.
Dari konsumsi kuota minyak tanah tahun 2007 yang sebesar 9,51 juta KL atau 59,8 juta barrel (1 barrel = 159 liter). maka dengan perbedaan harga USD 0,5-1 akan didapatkan peluang kerugian USD 29,9 juta – 59,8 juta (asumsi pada saat itu USD 1 = Rp 10.000), konversinya adalah Rp 299 milyar- Rp 598 milyar) bagi negara Indonesia yang harus dibayarkan melalui APBN 2007. Perhitungan ini hanya untuk minyak tanah saja. Bagaimana dengan peluang kerugian melalui premium dan solar?
Merujuk pada asumsi diatas dapatlah dilihat bahwa salah satu dari sekian banyak persoalan BBM yang dihadapi oleh bangsa ini terhadap pengaruhnya dengan beratnya beban yang ditanggung oleh APBN kita adalah karena faktor fundamentalis penetapan harga kita yang mempercayakan sepenuhnya pada penilaian produk untuk perdagangan minyak kawasan Asia yaitu MOPS yang merupakan karya Platts sebagai anak perusahaan McGraw Hill.
LEPAS TANGGUNG JAWAB
Pemerintah sejak 2001 lalu telah memperlihatkan indikasi untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap konstitusi Indonesia yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yaitu dengan mengesahkan UU No. 22 tahun 2001 yang melakukan liberalisasi sektor migas.
Indonesia kini menganut prinsip unbundling (pemisahan dan pemecahan) antara sektor hulu dan hilir industri perminyakan. Dampak pemisahan tersebut kini pihak swasta juga mulai melirik dan menargetkan untuk menguasai sektor hilir. Tanpa berharap menjadi apatis dan opurtunis, bangsa ini kedepan akan bertambah penderitaannya dengan bukan hanya menanggung harga BBM yang tinggi tapi juga kelangkaan minyak dibeberapa wilayah, utamanya yang terpencil dan belum memiliki infrastruktur yang berkembang.
Sangat mungkin terjadinya sebuah korporasi raksasa yang berinvestasi di dua sektor ini (hulu dan hilir) yang kemudian melakukan spekulasi pasar BBM dalam negeri. Jika imaginasi ini terbukti, maka kita menjadi tidak berdaya terhadap tatanan makro dan mikro eknomi kita, tapi pengambil alihan secara paksa oleh korporasi tersebut.
Untuk konteks kekinian saja, isu kelangkaan sering di arahkan kepada isu alamiah tentang sudah tuanya sumur-sumur produksi padahal bisa jadi kondisi realitas adalah investasi yang tersendat karena para pengusaha minyak tersebut hendak mengambil keuntungan dengan menunda produksi. Hal ini dapat saja dilakukan mengingat pola penimbunan BBM pada skala kecil sudah sulit dilakukan karena sebagian besar masyarakat sudah sadar mengenai pentingnya pengawasan penimbunan BBM.
Berbagai propaganda pemerintah selalu menempatkan masyarakat pada posisi yang salah, dimana istilah boros ditempatkan kepada masyarakat sehingga hemat hanya untuk masyarakat. Justru pejabat yang tiap bepergian pakai voor riders (pengiring) sampai 10 kendaraan lebih dan menyalakan sampai 20 AC itu yang boros, belum lagi lampu-lampu teras di kantor pemerintahan yang tetap menyala walaupun disiang hari.
Terlepas dari tuduhan boros atau tidaknya pemerintah kita ke masyarakat, Pemakaian BBM di Indonesia masih masuk dalam kategori rendah dengan menempati urutan 116 di bawah negara Afrika dengan kebutuhan dalam negeri 377.045.000 barrel/tahun. Meskipun pemakaian BBM kita rendah dibanding negara lain harga BBM kita termasuk yang termahal, misalnya saja Venezuela harganya hanya Rp 460/liter, Saudi Arabia Rp 1.104/liter, Nigeria Rp 920/liter, Mesir Rp 2.300/liter, dan Iran yang mendapatkan embargo ekonomi dan tekanan luar negri terhadap program nuklirnya tetap menjual di harga Rp 828/liter.
AMANDEMEN PSC
Asumsi ekonom kita Faisal Basrie yang mengatakan bahwa minyak sebagai sumber daya yang tidak di perbaharui harus tidak boleh di bayar murah memang benar, dan ini diasumsikan bahwa sebuah kewajaran ketika masyarakat harus membayarnya ditingkat harga dunia.
Dengan kondisi saat ini Production Sharing Contract (PSC) dengan pihak swasta yang hanya 70-30 bahkan 85-15 harus di tinjau ulang. Begitu murahnya sumber daya alam negara kita dinilai dengan PSC tersebut dengan diambil dari keuntungan “bersih” sehingga actual split bisa jadi 20-80 dimana Indonesia hanya dapat keuntungan 20% dari total keuntungan karena dipotong biaya-biaya produksi (cost). Katakanlah harga jual 100USD/barrel dan cost hanya 30 USD/barrel, maka yang displit hanya 70% saja.
Seandainya produksi 100 barrel, costnya setara 30 barrel, maka yang di split 70 barrel. Kalau splitnya 85-15, yang menjadi hak pemerintah untuk kepentingan masyarakat hanya 59,5 barrel saja atau pemerintah kita hanya terima sekitar 60% saja dari semua minyak yang diproduksi. Kalau costnya meningkat jauh lebih tinggi tentunya splitnya menjadi semakin kecil untuk negara.
Asumsi ekonom kita Faisal Basrie yang mengatakan bahwa minyak sebagai sumber daya yang tidak di perbaharui harus tidak boleh di bayar murah memang benar, dan ini diasumsikan bahwa sebuah kewajaran ketika masyarakat harus membayarnya ditingkat harga dunia. Mungkin para ekonom kita melupakan bahwa yang membuat sumber daya alam yang tidak terbaharukan itu menjadi murah sesungguhnya berasal dari Production Sharing Contract pemerintah yang merelakan menerima 30 bahkan 15 persen saja yang kemudian dijual nantinya dengan harga mahal ke masyarakat. Kita memang hanya bisa pasrah melihat “mental pedagang” yang kalah dalam proses negosiasi mendominasi para eksekutif negara kita yang tidak berani untuk melakukan negosiasi ulang terhadap Production Sharing Contract.
PASRAH VS HARAPAN
Rakyat kini berharap kepada pemerintah yang masih sadar dan manusiawi untuk melakukan amandemen atau membuat addendum yang ada pada Production Sharing Contract antara investor dan pemerintah menjadi 50-50 bahkan kalau memang minyak yang ada di perut ibu pertiwi ini mahal, buktikan mahalnya dengan memaksakan Production Sharing Contract menjadi 40% untuk pihak swasta dan 60% untuk pemerintah dan mengelolanya untuk kepentingan rakyat banyak.
Badan Intelejen Nasional (BIN) dengan kemampuannya, pasti lebih bermanfaat jika terjun menangani pengawasan mekanisme produksi dan distribusi dalam negeri daripada harus mencari kesalahan-kesalahan dan menuding teriakan ketertindasan nurani rakyat dan mahasiswa yang marak selama ini ada yang tunggangi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap negosiasi perdagangan minyak di”harus”kan ada komisi khusus kepada para pemegang kebijakan dari tingkat daerah hingga kepusat yang nilainya sangat besar. Jika Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak mampu meraba dan membuktikan ini, mungkin hal tersebut menjadi kapasitas BIN untuk membantu kinerja KPK.
Mahasiswa dan rakyat tak akan pernah lagi mendemokan BBM dan ibu-ibu rumah tangga tak lagi antri dengan jeregen ditangan serta khawatir harga minyak tanah tinggi jika kita mampu lepaskan ketergantungan pada formulasi harga dari perusahaan McGraw Hill (MOPS) di Singapura untuk membuat kebijakan harga ke masyarakat. TNI-Polri harus perketat pengawasan kepada setiap kegiatan Hulu dan Hilir, serta menangkap dan mengadili semua para pemain Black Market BBM dan jatuhi hukuman setinggi-tingginya. Jika ini terealisasi, BBM dalam negeri dipastikan tidak akan dinaikkan malah dapat diturunkan mendekati harga jual di Iran, Nigeria dan Venesuela.
Walaupun kebijakan sudah lahir, harpan itu masih ada dengan melakukan tuntutan 1. Peninjauan ulang kebijakan penetapan harga yang berpatokan kepada MOP Singapura, 2. Desak pemerintah kita untuk melakukan Amandemen dan Adendum dari Sharing Production Contract dengan pihak asing yang hanya 70-30 dan 85-15, menjadi 50-50 atau bahkan dibalik saja menjadi 85% untuk rakyat dan 15% untuk investor asing, 3. Kenapa tidak untuk melakukan nasionalisasi bukannya malah memprivatisasi aset negara yang cenderung akan menjadi pengurangan net profit yang akan dimasukkan dalam APBN.
Penutup dari tulisan saya ini adalah, kita butuh dukungan yang lebih luas dalam gerakan ini. Setengah hatinya anggota dewan dan perlawanan TNI-POLRI secara nyata dalam gerakan moral yang terjadi selama ini menurut hemat saya adalah konsekuensi nyata dari tuntutan yang disuarakan selama ini untuk memangkas kesejahteraan mereka yang akan dikeluarkan dari dana APBN sebesar 30%. Kita harus sadar bahwa legislatif dan militer sejatinya merupakan salah satu dari penentu tegaknya negara ini dan yang pasti di huni oleh manusia biasa juga yang membutuhkan kesejahteraan.
Saya masih yakin bahwa keberhasilan dari gerakan saat ini membutuhkan sikap kooporatif POLRI untuk menjadi lebih manusiawi dalam menangani demnstrasi dan dukungan penuh wakil rakyat untuk melanjutkan suara mereka yang menanggung langsung penderitaan dari kenaikan harga BBM ini. Masyarakat juga manusia biasa yang punya nurani dimana ketika ketiga elemen negara (pemerintah, legislatif, dan militer) malah menjadi agen penindas masyarakat, saya hawatir jika demonstrasi yang marak selama ini akan mengarah ke arah gerakan revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar