PENDAHULUAN | KUALITAS DAN KARAKTERISTIK LAHAN | KRITERIA | METODOLOGI KEGIATAN | DAFTAR PUSTAKA | FORM KUISIONER | PENGUKURAN FISIK LAHAN DI LAPANGAN | PENGUKURAN pH TANAH
Kualitas
lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute
yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai
keragaan (performance) yang
berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya
terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau
diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan
karakteristik lahan (FAO, 1976). Hubungan antara kualitas dan karakteristik
lahan diberikan pada Tabel 1.
Karakteristik
lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokkan ke
dalam 3 faktor utama, yaitu topografi, tanah dan iklim. Karakteristik lahan tersebut
(terutama topografi dan tanah) merupakan unsur pembentuk satuan peta tanah.
A.
Topografi
Topografi yang dipertimbangkan dalam evaluasi lahan adalah bentuk wilayah
(relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief erat hubungannya
dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi. Sedangkan faktor ketinggian
tempat di atas permukaan laut berkaitan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang
berhubungan dengan temperatur udara dan radiasi matahari. Relief dan kelas
lereng disajikan pada Tabel 2.
Ketinggian tempat diukur dari permukaan laut (dpl) sebagai titik nol.
Dalam kaitannya dengan tanaman, secara umum sering dibedakan antara dataran
rendah (<700 m dpl.) dan dataran tinggi (> 700 m dpl). Namun dalam
kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur
dan radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka
temperatur semakin menurun. Demikian pula dengan radiasi matahari cenderung
menurun dengan semakin tinggi dari permukaan laut.
B.
Iklim
1.
Suhu
udara
Tanaman kina dan kopi, misalnya, menyukai dataran tinggi atau suhu
rendah, sedangkan karet, kelapa sawit dan kelapa sesuai untuk dataran rendah.
Pada daerah yang data suhu udaranya tidak tersedia, suhu udara diperkirakan berdasarkan
ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat, semakin rendah
suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Braak (1928):
26,3⁰ C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6⁰
C) ……………………….[1]
Suhu udara rata-rata di tepi pantai berkisar antara 25-27 C.
2.
Curah
hujan
Data curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran stasiun penakar hujan
yang ditempatkan pada suatu lokasi yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah
tertentu. Pengukuran curah hujan dapat dilakukan secara manual dan otomatis.
Secara manual biasanya dicatat besarnya jumlah curah hujan yang terjadi selama
1 (satu) hari, yang kemudian dijumlahkan menjadi bulanan dan seterusnya
tahunan. Sedangkan secara otomatis menggunakan alat-alat khusus yang dapat
mencatat kejadian hujan setiap periode tertentu, misalnya setiap menit, setiap
jam, dan seterusnya.
Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam
jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Oldeman
(1975) mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering
berturut-turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm,
sedangkan bulan kering mempunyai curah hujan <100 mm. Kriteria ini lebih
diperuntukkan bagi tanaman pangan, terutama untuk padi. Berdasarkan kriteria
tersebut Oldeman (1975) membagi zone agroklimat kedalam 5 kelas utama (A, B, C,
D dan E). Sedangkan Schmidt & Ferguson (1951) membuat klasifikasi iklim
berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan basah (>100 mm) dan bulan
kering (<60 mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat umum untuk pertanian
dan biasanya digunakan untuk penilaian tanaman tahunan.
C.
Tanah
Faktor tanah dalam evaluasi kesesuaian lahan ditentukan oleh beberapa
sifat atau karakteristik tanah di antaranya drainase tanah, tekstur, kedalaman
tanah dan retensi hara (pH, KTK), serta beberapa sifat lainnya diantaranya
alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan.
1.
Drainase
tanah
Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau
keadaan tanah yang menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air.
Kelas drainase tanah disajikan pada Tabel 3. Kelas drainase tanah yang
sesuai untuk sebagian besar tanaman, terutama tanaman tahunan atau perkebunan
berada pada kelas 3 dan 4. Drainase tanah kelas 1 dan 2 serta kelas 5, 6 dan 7
kurang sesuai untuk tanaman tahunan karena kelas 1 dan 2 sangat mudah
meloloskan air, sedangkan kelas 5, 6 dan 7 sering jenuh air dan kekurangan oksigen.
Keadaan penampang tanah pada tanah-tanah yang berdrainase baik, agak
baik, agak terhambat dan sangat terhambat disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Keadaan penampang tanah berdasarkan keadaan
drainase.
(sumber: Ritung,
Sofyan et al, 2007)
2.
Tekstur
Tekstur merupakan komposisi partikel tanah halus (diameter ≤ 2
mm) yaitu pasir, debu dan liat. Tekstur dapat ditentukan di lapangan seperti
disajikan pada Tabel 4, atau berdasarkan data hasil analisis di laboratorium
dan menggunakan segitiga tekstur seperti disajikan pada Gambar 2.
Pengelompokan kelas tekstur adalah:
Halus (h) :
Liat berpasir, liat, liat berdebu
Agak halus (ah) :
Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu
Sedang (s) :
Lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu
Agak kasar (ak) :
Lempung berpasir
Kasar (k) :
Pasir, pasir berlempung
Sangat halus (sh) :
Liat
Gambar 2. Segitiga tekstur tanah
(sumber: Ritung,
Sofyan et al, 2007)
3.
Bahan
kasar
Bahan kasar adalah persentasi kerikil, kerakal atau batuan pada setiap
lapisan tanah, dibedakan menjadi (Ritung, Sofyan et al, 2007):
·
sedikit :
< 15 %
·
sedang :
15 - 35 %
·
banyak :
35 - 60 %
·
sangat banyak :
> 60 %
4.
Kedalaman
tanah
Kedalaman
tanah, dibedakan menjadi (Ritung, Sofyan et al, 2007):
·
sangat dangkal :
< 20 cm
·
dangkal :
20 - 50 cm
·
sedang :
50 - 75 cm
·
dalam :
> 75 cm
5.
Ketebalan
gambut
Ketebalan
gambut, dibedakan menjadi (Ritung, Sofyan et al, 2007):
·
Tipis :
< 60 cm
·
sedang :
60 - 100 cm
·
agak tebal :
100 - 200 cm
·
tebal :
200 - 400 cm
·
Sangat tebal :
> 400 cm
6.
Alkalinitas
Menggunakan nilai persentase natrium dapat ditukar (exchangeable sodium percentage atau ESP) yaitu dengan perhitungan
(Ritung, Sofyan et al, 2007):
………………………………… [2]
Nilai ESP 15% sebanding dengan nilai sodium adsorption ratio atau SAR 13:
………………………………… [3]
7.
Bahaya
erosi
Tingkat bahaya erosi dapat diprediksi berdasarkan kondisi lapangan, yaitu
dengan cara memperhatikan adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (rill
erosion), dan erosi parit (gully
erosion). Pendekatan lain untuk memprediksi tingkat bahaya erosi yang
relatif lebih mudah dilakukan adalah dengan memperhatikan permukaan tanah yang
hilang (rata-rata) pertahun, dibandingkan tanah yang tidak tererosi yang
dicirikan oleh masih adanya horizon A. Horizon A biasanya dicirikan oleh warna
gelap karena relatif mengandung bahan organik yang lebih tinggi. Tingkat bahaya
erosi tersebut disajikan dalam Tabel 5.
8.
Bahaya
banjir/genangan
Banjir ditetapkan sebagai kombinasi pengaruh dari: kedalaman banjir (X)
dan lamanya banjir (Y). Kedua data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara
dengan penduduk setempat di lapangan. Bahaya banjir dengan simbol Fx,y. (dimana
x adalah simbol kedalaman air genangan, dan y adalah lamanya banjir) disajikan
dalam Tabel 6.
9.
Kemasaman
tanah
Ditentukan
atas dasar pH tanah pada kedalaman 0-20 cm dan 20-50 cm (Tabel 7).
D.
Sosial,
Kelembagaan dan Pengembangan
Aspek-aspek sosial (manusia) utamanya aspek sosial kemasyarakatan,
kelembagaan dan pengembangan, di kumpulkan dengan menggunakan metode wawancara
langsung terhadap pihak instansi, akademisi, pengelola obyek, maupun masyarakat
setempat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan maupun masukan-masukan
terkait pengembangan pariwisata di Objek Wisata, sehingga nantinya dapat
digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan proses analisis dan penentuan
arahan pengembangan. Berikut tabel 8 menyajikan keperluan teknik wawancara:
Selain metode
wawancara pengamatan observasi lapangan
juga memerlukan sebuah pengelolaan dalam proses pengamatan lapangan yang dilakukan
secara langsung pada Objek
Wisata yang diamati. Data
ini akan digunakan
sebagai input untuk mengetahui
karaktetistik supply pada
objek wisata sehingga nantinya dapat digunakan dalam
penentuan arahan pengembangan objek wisata. Pada tabel 9 berikut tersaji
keperluan pengamatan observasi lapangan yang dimodifikasi dari Yoeti (1997) dan
Sastrawati (2003):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar